Fathiya - 16 - Kebencian yang Mulai Hadir

Mulai dari awal
                                    

Perbincangan di meja makan didominasi Fajar yang terus bertanya pada Lintang. Tentang bisnis, tentang latar belakang, dan sesekali menggoda pria itu yang masih setia mencintai Fathiya meski lebih dari sepuluh tahun.

"Duh, Masyaallah, Nak Lintang! Malah milih nerusin bisnis keluarga padahal cumlaude di manajemen UI. Papa percaya kalau Nak Lintang sudah ditawari kerja di berbagai kantor bonafit, kan? Itu hebat!"

Lintang menggeleng. "Saya nggak sehebat itu, Pa. Saya nggak tega kalau harus meninggalkan Ibu kerja 8-10 jam sehari. Kalau di kedai kan bisa bersama Ibu terus." Tawa renyah menghias.

"Dasar anak mama!" Tanti melengos.

Fajar berdeham berusaha menghentikan sikap sinis Tanti, tapi tampaknya tidak bisa berbuat banyak. Tanti tetap berekspresi sinis dan dingin. Sementara Rahmi hanya melanjutkan makannya dengan tenang tanpa terusik.

Fathiya mulai mengaduk-aduk susunya gusar. Sungguh, Fathiya tak paham. Tidak bisakah Tanti mendukung pernikahan mereka? Saat ini Fathiya memang belum mencintai Lintang, tetapi setidaknya dia berjanji akan berusaha menjadi istri yang baik.

Kalau setiap waktu dihina seperti ini, bagaimana Lintang bisa betah menjadi suaminya? Apa nanti cinta Lintang akan berganti lelah?

"Jadi, kapan Nak Lintang akan membawa Fathiya?" Fajar berusaha mengalihkan pembicaraan.

Lintang menoleh ke arah Fathiya sejenak. "Kalau Fathiya berkenan, besok kami akan kembali ke Depok."

"APA?!" Tanti langsung melotot tak suka. "Emang kamu punya rumah di Depok?" Ada nada tak percaya sekaligus meremehkan di sana.

"Kami tinggal di lantai dua kedai." Lintang berusaha bersikap tenang menghadapi Tanti yang semakin berapi-api dan terlihat siap meletus kapan pun.

Suara sendok dan garpu yang diletakkan kasar ke atas piring kosong terdengar nyaring. "Ini konyol!" seru Tanti. "Bagaimana mungkin anak kesayanganku tinggal di warung mi ayam?!"

"Lantai dua cukup luas." Rahmi menimpali. Nadanya tetap tenang dan penuh welas asih. "Ada satu kamar ukuran sembilan meter persegi dan satu kamar yang lebih kecil untuk saya. Kamar mandi dan dapur kecil juga ada di atas. Jadi Nak Fath ..."

"Aaah ... siapa sudi!" Tanti kembali memotong. "Fathiya biasa tinggal di rumah dua lantai berukuran lima ratus meter!" Jemarinya membuka menunjukkan angka lima kuat-kuat. "Kamar mandi dalam, AC, kasur king size. Lalu dia kamu suruh turun derajat gitu saja?! Minimal kalau lamar anak orang tuh, menjaga istrinya agar hidup lebih mapan dari harta orang tuanya! Enggak tahu diri!"

Fathiya merasa hatinya diremas hingga berkeping-keping. Pasti mamanya masih tak bisa move on dari Raka. Bagaimana pria itu pernah memamerkan video rumah dua lantainya di komplek Meutia Kirana yang berukuran total nyaris seribu meter persegi. Tempat di mana mereka rencananya akan tinggal setelah menikah.

Ah ... bukankah semua hanya kepalsuan?

Bahkan ketika Raka kemarin datang ke walimahannya, tak ada kata maaf terucap. Justru malah mengatakan betapa dia merindu.

Dusta!

Akan tetapi, walau mungkin yang dikatakan Raka hanya kebohongan belaka, entah mengapa jauh di lubuk hati, Fathiya mengharapkan itu benar. Dia berkeinginan agar Raka benar-benar mengharapkannya kembali.

Namun, apakah akan ada yang berubah? Bukankah kini ia sudah menjadi milik pria lain? Fathiya menelan liurnya yang kini terasa pahit.

"Bagaimana kalau kita lihat dulu rumah Lintang." Fajar berusaha menengahi. "Sebulan kemarin kita terlalu sibuk mengurus pernikahan sampai tak sempat mampir ke rumah Bu Rahmi. Sekarang giliran kita yang mampir."

Fathiya x Labuhan Hati Antara Kau dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang