Keberuntungan dan nasib buruk, benarkah bisa ditentukan dari sebuah ramalan?
Apa keberuntungan lebih utama ketimbang cinta?
"Bukankah semua ini karena ramalan? Jadi, buat apa berjuang?"
"Kalau tidak ada ramalan, apa mungkin aku memiliki keberanian...
So Hyun meremas jemarinya. Bagaimanapun ia merasa bersalah karena telah membohongi Seung Youn.
"Maaf karena aku menyembunyikan hubunganku dengan Song Kang. Aku sendiri tidak begitu percaya diri bisa memiliki kekasih sepertinya. Karena itu—"
"Hentikan." Seung Youn berdiri. Tangannya menepuk pundak So Hyun yang terlihat akan menangis. "Kau tidak harus menjelaskannya padaku. Lagi pula, kau berhak bahagia, Hyun. Aku akui cukup terkejut karena kau tidak pernah mengatakan padaku. Namun, percayalah, aku baik-baik saja."
Membentuk satu senyuman lebar ciri khasnya. Ia berharap Sohyun tidak akan pernah mengetahui perasaannya. Perasaan yang harus ia akhiri.
"Terima kasih untuk kopinya." Pria Cho itu pergi keluar sembari membawa kopi yang dibawakan So Hyun.
Tungkai panjangnya berjalan menuju lift. Memilih berhenti tepat di depan pintu lift yang masih bergerak ke atas. Berdiri sembari bergulat dengan kenangan kemarin malam.
"So Hyun-ah!"
Perlahan, tubuh Seung Youn memutar. Pertanyaan untuk sosok yang mengantar So Hyun, sudah terjawab. Song Kang, pria tegap yang menjadi rekan kerja mereka bulan depan, siapa yang menduga bahwa ia alasan So Hyun tersipu.
Namun, tidak lantas memuaskan rasa ingin tahunya. Sebaliknya, merongrong banyak tanya. Variatif, penuh hingga membuat isi kepalanya sesak.
"Song Kang, dia—"
"Aku tahu. Temanmu, kan?" potong Song Kang dengan senyum tercetak miring.
Lantas Song Kang mendekati Seung Youn yang berekspresi datar. "Sepertinya kau begitu dekat dengan kekasihku." Pandangannya melirik kotak makan yang baru diserahkan ke tangan So Hyun. "Bukankah terlalu malam untuk memberikan sesuatu pada seorang wanita yang tinggal sendiri?"
Sebuah sindiran halus yang lekas dimengerti Seung Youn.
Kepala Seung Youn memanggut; membenarkan ucapan Song Kang. Sarkasme sederhana yang lekas membuat ia tersadar dengan posisinya. Seorang teman yang terlalu perhatian, agaknya alasan itu terlalu klise untuk dimaklumi.
"Maaf, sepertinya aku tidak begitu berpikir panjang sesaat ibuku menyuruh membawakan makanan ini untuk kekasihmu, Tuan Song."
Seung Youn menatap So Hyun yang masih terdiam.
"Kalau begitu akuakan pergi. Sampai bertemu besok, Hyun."
Perasan Seung Youn berkecamuk; menyesal dan merasa kecewa. Rasanya tidak benar harus berakhir dengan cara seperti ini. Kendati demikian, pilihan bukan berada di tangannya, melainkan So Hyun. Wanita Kim itulah yang memiliki kewenangan untuk memilih.
Kembali ke masa sekarang, Seung Young mengusap rambutnya. Kepalanya pusing. Bohong kalau bilang dia baik-baik saja. Semua itu tak lebih cara untuk menyamarkan perasaan yang sesungguhnya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Melepaskan sesuatu hal tanpa sempat memulai, bagaimana bisa ia merasa puas. Namun,pilihan apa yang tersaji untuknya?
Tidak ada.
So Hyun tidak memberi peluang untuknya. Secangkir kopi hitam pun tidak melunturkan gelisah. Sebaliknya, menambah getir dan pahit yang ia kecapi.