[21]

11.1K 2.3K 496
                                    

Terulang lagi.

Yeji menghela napas menetralkan suasana hati. Tidak banyak yang berkunjung ke perpustakaan Sabtu sore.

Dia kembali menghela karena masih harus berkutat di kampus selama satu jam. Bergulung dengan buku-buku, dan lain sebagainya.

Oke, oke sebenarnya ini tidak begitu memperihatinkan. Dia tidak terlalu mengelukan kondisinya saat ini. Satu-satunya yang agak membuatnya kesal, yakni dia harus merampungkan tugas kelompok seorang diri.

Selalu begini.

Tetapi bukan karena Yeji tertindas atau apa, dia melakukannya karena sudah terlalu letih untuk meminta setiap anggota mengerjakan bagian mereka satu persatu. Apalagi yang bila anggota kelompoknya malah memberikan data milik orang lain. Itu ilegal. Sama seperti menjiplak.

Yeji melepas pulpennya untuk menguap lalu mengerjap-erjapkan matanya saat bayangan kabur tulisan di buku dan laptopnya membuatnya pening.

Astaga, dia benar-benar butuh kopi sekarang.

Gadis itu berjalan keluar dari perpustakaan dan menghampiri mesin kopi yang ditempatkan di beberapa spot. Ia memasukkan tiga uang koin dan memilih sekaleng Espresso Roast.

Pikirannya masih buram. Ada sesuatu tumpang tindih di dalam kepalanya. Tugasnya yang belum selesai dan juga ponselnya yang belum ketemu.

Di mana terkahir kali dia meletakkan ponselnya?

Daripada itu Yeji berharap tidak seorang pun yang menemukan benda itu.

Kemudian Yeji berjalan mendekati pagar pembatas di lantai tiga yang berada di dalam gedung. Dari sini bisa ia lihat segelintir mahasiswa berlalu lalang di lobi. Wajah mereka lesu dan pakaian mereka kusut.

Yeji terus memperhatikan pemandangan di bawah sana sambil sesekali menyesap kopi instannya.

Tiba-tiba ia merasakan tepukan lembut seseorang di pundaknya. "Song Yeji, pulang nanti mau kuantar?"

Yeji menoleh pada Mina yang sudah menyadarkan punggungnya pada besi pembatas. Ia urung bertanya mengapa belakangan gadis ini hobi datang ke bagian timur kampus padahal fakultasnya sendiri berada di bagian barat yang kira-kira membutuhkan waktu tempuh tujuh menit berjalan kaki.

"Kau langsung pulang saja," ujar Yeji.

Garis bibir Mina berkerut. Ekspresi sedih tidak bisa ditutupi di wajah semulus porselennya itu. "Padahal aku berniat mengantarmu. Hari ini aku bawa mobil sendiri."

"Aku sedang ingin jalan santai."

"Kalau begitu boleh aku jalan bersamamu?"

"Kau pulang saja. Orangtuamu pasti khawatir kalau pulang larut." Yeji masih mencoba berdalih sehalus mungkin.

Entah mengapa dia tidak bisa menolak dengan cara tegas kalau sudah berhadapan dengan gadis seperti Mina. Gadis itu kelihatan terlalu lemah untuk mendapat penolakan.

"Tentu saja tidak. Aku ini sudah 22 Tahun. Mereka pasti mengira aku sedang sibuk mengejarkan tugas akhir," sahut Mina.

"Aku akan pulang sendiri."

"Aku bisa mengantarmu, kok," Mina bersikukuh.

Yeji tersenyum getir. "Aku tahu. Tapi apakah kau yakin akan berjalan dengan sepatu itu?"

Bola mata mereka sama-sama bergulir ke arah kaki Mina yang dibalut sepatu heels hijau muda setinggi lima senti.

Mina terlihat bingung untuk sesaat.

"Lupakan saja," potong Yeji menyela jalan pikiran Mina yang hampir melemparkan protes baru. "Kau pulanglah. Lagi pula masih ada tempat yang mau kudatangi."

StreamingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang