"Kau akan mengajariku selama dua jam setiap harinya. Waktunya akan disesuaikan dengan jadwal kerjaku. Aku akan memberitahumu kapan kau harus datang dan di mana kita harus berlatih."

"Tidak bisa. Aku menolak." So Hyun begitu yakin.

Alis tebal Song Kang bertaut. Sedikit memerlihatkan dahinya yang berkerut.

"Aku saat ini sudah memiliki pekerjaan. Lagi pula tidak harus aku, kau bisa membayar orang yang lebih kompeten untuk mengajarimu. Maaf, aku sama sekali tidak membantumu."

So Hyun lekas pamit seiring ia membungkuk.

"Karena aku cuma mempercayaimu."

Kaki So Hyun terpaku. Langkahnya yang akan beranjak, bergeming. Masih di tempat yang sama.

"Aku juga akan membayarmu. Anggap saja ini pekerjaan sampingan. Aku akan memberikan upah yang layak. Bukankah cukup adil?" sambung Song Kang.

Uang. Mungkin ini memalukan, karena hati So Hyun benar-benar tergerak pada satu kata itu. Kesombongannya meragu demi sejumlah materi yang ditawarkan oleh mantan kekasihnya.

"Jangan melihatku sebagai mantan kekasih, tapi sebagai Song Kang, rekan kerjamu. Bagaimana?"

So Hyun-ah ... bukankah sudah saatnya kau berhenti? Untuk menjadi sutradara, rasanya akan sulit bagimu. Semua orang di sini terus membicarakanmu. Kembalilah ke rumah.

So Hyun merasa menyedihkan. Belum lagi banyak orang meragukannya. Ditambah dengan kehidupan yang ia punya sekarang, bisa dibilang So Hyun tidak memiliki pembuktian yang mampu ditunjukkan pada keluarganya ataupun pada orang yang meremehkannya. Bagian yang paling menyedihkan, hingga sekarang sang ibu masih mendukung kebutuhan finansialnya.

Mau menolak, nyatanya So Hyun memang membutuhkan uang. Mungkin saja Song Kang bisa membuka jalannya. Setidaknya membantunya.

Apa salah untuk bersikap tamak?

***

"Bagaimana kalau kita makan malam bersama?"

So Hyun menoleh pada Seung Youn. Pekerjaan mereka hari ini berjalan lancar. Meski sejam terlambat dari jam pulang normal, setidaknya mereka tidak akan pulang terlalu malam seperti kemarin.

Tadinya So Hyun akan mengiakan ajakan Seung Youn, sebelum isi pesan yang diterima, membuatnya berpikir ulang. 

Pekerjaanku selesai pukul 08.00 malam.  Temui aku di basement Gedung XXX.
Jangan terlambat!
- Song Kang -

Desahan yang panjang menarik perhatian Seung Youn. Sesekali wanita Kim itu meniup poni panjang untuk mengurangi kekesalannya, kendati belum teruji cara itu mujarab atau tidak.

"Kau baik-baik saja?" tanya Seung Youn.

"Seung Youn-ah, maafkan aku. Sepertinya kita tidak bisa makan malam bersama. Aku baru ingat harus pergi ke suatu tempat." So Hyun mengecek jam tangannya, lantas menarik tali ransel yang selalu ia kenakan. "Aku pergi dulu. Sampai berjumpa besok," lanjut So Hyun bergerak cepat.

Suara derap langkahnya yang berlari masih membuat pria Cho itu terpekur. Ditinggalkan sendirian seperti ini, baru saja Seung Youn kehilangan nafsu makannya.

Sementara itu, perjalanan menuju Gedung XXX bukan memakan waktu yang sebentar. Bila menaiki MRT, setidaknya So Hyun harus berpindah dua kali. Memang merepotkan, tapi ia tidak punya pilihan berdebat saat ini.

Hal ini sudah diputuskan sejak malam kemarin.

"Baiklah. Aku setuju. Selain kau harus membayarku, aku juga punya permintaan lain."

So Hyun memberanikan diri. Ini bukan lagi masalah harga diri atau malu, tapi tentang impiannya. Selain itu, ia juga harus membuktikan dirinya. Bisa jadi ini adalah kesempatan yang bisa mengubah semua jalan ceritanya.

"Kalau film perdanamu berhasil, kau harus mau mendanai projek film pertamaku. Tenang saja, ini bukan film yang besar seperti Hollywood. Sejenis film indie untuk diikutsertakan dalam festival film tingkat internasional."

Sejenak Song Kang terdiam. Dalam diamnya, ia terus memerhatikan air muka So Hyun.

"Setuju. Tidak masalah untukku."

Selesai sudah. So Hyun berhasil membuat kesepakatan dengan Song Kang. Dua bulan akan berlalu dengan cepat. Begitu juga bulan-bulan selanjutnya. Berapa lama pun berlalu,  impiannya tetap akan sama ... menjadi sutradara.

Perjuangan itu dimulai dari hari ini, hari pertamanya mengajari Song Kang. Kendati ia tidak tahu seberapa bisa ia sabar mengajari Song Kang nantinya. Bagaimanapun, peluang ini layak dicoba.

***

"Hyung ... mana kunci?"

Manager Han, pria yang sejak pagi mengikuti jadwal pemotretan Song Kang, mendadak bingung. Tidak biasanya Song Kang menanyakan kunci, karena ialah yang selalu menjadi manager sekaligus supir khusus pria berpostur tinggi tersebut.

"Apa hari ini aku menang lotere sampai begitu beruntung? Kau yang akan mengendarai mobil malam ini?" Manager polos yang tak ragu memberikan kunci mobil pada Song Kang.

"Benar, Hyung. Ini hari keberuntunganmu karena aku akan pulang sendirian. Bye!"

Song Kang menepuk bahu pria yang tertegun itu beberapa kali. Tangannya juga melambai, tanpa merasa bersalah dengan wajah pria Han yang berangsur pucat.

"Yak, Song Kang-ah! Apa kau menyuruh hyung pulang naik taksi? Hyung tidak membawa dompet hari ini! Yak, Song Kang!"

Pekikan yang sia-sia. Suaranya tidak sampai pada Song Kang yang sudah berada di dalam lift. Ruang besi yang membawanya bergerak hingga lantai bawah, tempat mobil terparkir.

Tidak banyak lagi mobil yang terparkir di sana.
Bisa dihitung dengan jari. Tangannya pun bergerak mengambil ponsel dari saku celananya.

Satu pesan masuk sejak setengah jam lalu diterimanya.

Aku sudah tiba.
- Kim So Hyun -

Song Kang tersenyum. Reaksi yang normal mengingat sejak tadi ia tidak sabar untuk berjumpa dengan wanita Kim itu.

"So Hyun-ah? Kau di mana?"

Suara berat Song Kang menggema di ruang basement. Sosok yang dicarinya perlahan menampakkan diri. Duduk dan bersembunyi di balik salah satu mobil, ia sudah menunggu hingga merasa bosan.

Lagi-lagi Song Kang tersenyum. Wajah merengut So Hyun membawa pada kenangan lama, masa di mana keduanya menikmati masa bahagia.

"Aku tidak tahu ternyata melihat ia menunggu, membuatku bahagia," gumam Song Kang pelan.

Tidak dengan So Hyun yang memasang muka kesal. Namun, tidak ada yang bisa wanita Kim itu lakukan. Semua ini harus ditahannya demi kesepakatan mereka.

Ya, sebatas kesepakatan.

***
To be continued

ORACLE (END)Where stories live. Discover now