So Hyun mendelik tajam pada teman sebangkunya yang memukul punggung belakangnya cukup kuat.

"So Hyun-ah, dia itu Song Kang. Dia sangat populer di sekolah," bisiknya pada So Hyun yang tak lantas mengubah pemikirannya.

Masih saja kedatangan pemuda jangkung itu menghadirkan decak kagum pada beberapa siswa. Postur dan wajahnya, dari jarak dekat, suara riuh dari para gadis—kebanyakan—menjadikan kelas mereka tampak penuh.

Namun, tidak dengan So Hyun. Ia sama sekali tidak peduli dengan popularitas pria yang dianggapnya tak waras.

"Maaf, tapi aku tidak berminat pacaran dengan orang gila." So Hyun melengos pergi. Sedikit marah. Terlihat sesaat ia mendengkus dan meninggalkan teman dekatnya begitu saja.

Di sepanjang koridor menuju kantin, bibir So Hyun seolah enggan mengoceh. Segala jenis umpatan, makian yang terdengar bak sumpah serampah, lolos dari mulutnya. Sebelum langkahnya mulai melambat dan menyadari ada hal yang aneh dengan hari ini. Hampir setiap orang yang berpapasan dengannya tampak berbisik.

Aura aneh muncul di sekitarnya. Kentara sedang membicarakannya.

Langkahnya terhenti tepat di depan mading sekolah yang terletak tak jauh dari kantin. Pandangannya menatap lurus pada satu lembar kertas yang berisikan namanya.

"Surat Cinta Kim So Hyun untuk Song Kang."

Konyol!

Terjawab sudah kalau inilah alasan kenapa harinya tiba-tiba dirundung awan gelap. Inilah kenapa sosok asing tadi yang tak lain adalah kakak kelasnya, tiba-tiba saja mendekati So Hyun dengan pengakuan cinta yang jauh dari kata romantis.

"Kau percaya surat ini dariku?"

So Hyun toleh pada sosok yang berdiri di sampingnya. Song Kang, pria itu sangat cepat menyusulnya. Kakinya yang panjang, mungkin itu alasan kenapa dia bisa melangkah dengan cepat.

"Entahlah. Berkat surat ini, aku pun jadi sadar kalau ternyata sangat populer. Bahkan untuk gadis dingin sepertimu." Ia tersenyum sinis.

Berbeda dengan So Hyun. Dia sama sekali tidak nyaman dijadikan bahan tawa hari ini. Jelas, ada seseorang yang mengerjainya.

"Aku tidak menyukaimu dan tidak pernah menulis surat ini. Jadi, tidak perlu repot berpacaran denganku."

Song Kang tergelak. Jelas sangat lucu. Belum pernah ada gadis yang berani menolaknya. Sejauh ini, dialah yang kerap kali bersikap dingin dan menolak permohonan banyak gadis.

Namun, sikap gadis Kim itu benar-benar di luar nalar. Menolaknya? Di depan banyak orang? Mana mungkin Song Kang biarkan.

"Sepertinya aku telanjur menyukaimu, Kim So Hyun. Jadi, kita tetap berpacaran."

Iris So Hyun membola. Senyum Song Kang-lah penyebabnya. Tergambar jelas pria itu menikmati permainan ini. Terlepas semua ini berawal dari kesalahpahaman, tak jadi masalah untuknya.

***

"So Hyun-ah!"

Pemilik rambut panjang dan tubuh ramping itu memutar sesaat namanya terpanggil lantang.
Garis lengkung kentara di wajahnya. Ia tersenyum pada pria yang menyerukan namanya.

Sosok di hadapannya adalah Song Kang. Pemuda yang tiga bulan lalu dianggapnya gila. Namun, mungkin bukan hanya Song Kang yang gila. Nyatanya, kegilaan Song Kang menular pada So Hyun. Sejak hari pelik itu, keduanya resmi menjadi sepasang kekasih.

"Ayo, pulang bersama."

Kedua alis So Hyun meninggi. Padahal tadi Song Kang mengatakan tidak bisa pulang bersama. Katanya lagi, ada hal penting yang harus dilakukan.

"Benarkah? Bukankah tadi-"

Cup!

Satu kecupan di dahinya menghentikan suara So Hyun.

"Hari ini aku pun ingin pulang bersamamu. Lalu bergandengan tangan bersama. Aku suka saat kita menghabiskan waktu bersama."

So Hyun tersenyum. Tangannya tergenggam erat. Song Kang, ia bagaikan penyihir. Entah pada hari keberapa, So Hyun berhasil dibuat jatuh cinta padanya.

Gadis dingin dipertemukan dengan pemuda penggombal sepertinya, formula yang nyatanya larut dengan sempurna. Meski, kadang di dalam hati, So Hyun takut suatu saat kejadian seperti ini hanya akan menjadi kenangan.

Keduanya pun tidak bisa memastikan kapan terjadinya pasang surutnya suatu hubungan. Rasa bahagia, terharu, marah, curiga, cemburu, berbagai emosi singgah di antara mereka yang masih menjajaki impian masa depan. Penuh pergumulan dan pertentangan untuk ego yang terbendung tidak sempurna.

Hingga di suatu titik, keduanya tiba di akhir perjalanan hubungan. Keputusan bersama yang dirasa menjadi jalan terbaik. Setelah hampir satu tahun, kedekatan yang dulunya bak lem, kini merenggang. Alasan demi alasan, hanya menjadi penyangkalan agar tidak dari salah satu mereka dipersalahkan.

Tangan yang dulunya digenggam erat pun mau tidak mau harus dilepaskan. Saling berjalan memunggungi punggung masing-masing, jalan yang mereka tuju sudah berbeda.

***
To be continued

ORACLE (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora