Seung Youn merengut bak anak kecil. Padahal beberapa menit lalu ia melompat girang saat So Hyun mengatakan akan mentraktirnya. Di kepalanya, sudah berisikan beberapa alternatif makanan yang membangkitkan selera. Termasuk selera untuk bekerja lembur yang harus dilakukan keduanya.
"Yak! Kalau kau tidak mau, jangan makan!"
So Hyun tadinya berniat menarik cup milik Seung Youn, sebelum kalah cepat dengan tangan pria Cho yang mengambil dan langsung menyeruput satu sumpit besar ke mulutnya.
"Tapi aku tidak bilang tidak akan memakannya." Mulut pria Cho itu masih penuh dengan makanan yang belum utuh terkunyah. Beberapa tetes kuah ramyeon berjejak berantakan di sekitar mulutnya.
"Apa kau ini masih bayi, huh?"
Meski So Hyun mengomeli Seung Youn, tetap saja ia yang menyeka bibir Seung Youn dengan selembar tisu.
Seung Youn menyengir lebar. Ia suka So Hyun yang perhatian. Meski sering terkesan galak, tapi sebenarnya So Hyun adalah orang yang sangat perhatian.
Duduk bersama di depan mini market 24 jam yang dekat dengan gedung keduanya bekerja, di situlah keduanya menghabiskan jam makan malam bersama. Bahkan di hari pertama So Hyun bekerja sebagai asistennya, Seung Youn sudah mengajaknya untuk lembur. Derita atau sukacitakah ini?
"Apa kau masih ingat saat pertama kali kita menerima gaji dan menghabiskannya di sini? Membeli beberapa cemilan, ramyeon, dan bir. Sama seperti sekarang, kita tertawa lebar untuk jerih payah kita." Seung Youn membuka kenangan keduanya.
So Hyun menerawangkan perhatiannya ke langit. Beberapa bintang tampak cantik menghiasi langit Seoul. Yang diucapkan Seung Youn, tentu saja ia ingat.
So Hyun dan Seung Youn, awalnya tidak begitu akrab di masa kuliah. Berawal diterima di tempat kerja yang sama-saat itu keduanya masih sama—sama menjadi pekerja paruh waktu—saat itulah yang membuat keduanya menjadi lebih dekat. Seiring waktu berjalan, garis nasib So Hyun tidak sebaik Seung Youn. Pria jangkung itu meninggalkan garis start lebih dulu darinya. Seung Youn melangkah maju—sedikit demi sedikit. Tiba di suatu titik, So Hyun tersadar hanya ia yang tidak beranjak dari garis awal. Sementara Seung Youn, punggung belakangnya terus berjalan menjauhinya.
"Kadang aku berpikir untuk berhenti. Mungkin saja aku tidak memiliki keberuntungan di dunia yang kugeluti sekarang."
Seung Youn menatap wajah samping So Hyun. Walau kepala wanita Kim itu menengadah ke atas, ucapannya yang barusan itu pastilah suara hatinya. Raut lelahnya tersamarkan wajah cantik yang memesona.
"Keberuntungan tidak ada hubungannya dengan takdir yang akan kaujalani. Kalau saat ini kau berpikir belum melakukan banyak hal, maka kau salah."
So Hyun bergerak menatap Seung Youn.
Pria yang kerap tersenyum padanya, kali ini memasang wajah serius. Sosok lain yang jarang ia tampilkan. "Kau sudah berjuang sejauh ini, apa menyerah menjadi jalan keluar? Bukankah itu hanya jalan termudah untuk menyalahkan semua hal yang tidak berjalan seperti keinginanmu? Ibarat mendaki gunung, butuh beberapa langkah lagi demi mencapai puncak. Apa kau tidak takut dan menyesal sebelum bisa merasakan bagaimana melihat matahari dari puncak?"
So Hyun kehilangan kata-kata. Rasanya ajaib karena ucapan Seung Youn melonggarkan hatinya yang sempat tertumpuk dengan beban yang dia pikirkan sendiri.
"Kau bisa memberikanku satu cup ramyeon lagi kalau ingin berterima kasih," lanjut Seong Youn.
So Hyun tergelak. Seong Youn tetaplah Seong Youn. Meski sekilas tadi ia berhasil memukau So Hyun dengan perkataannya, tetap saja sosok serius itu tak akan bertahan lama. Sisi ceria pria Cho tersebut lebih dominatif. Beruntung malam ini ia habiskan bersama Seung Youn. Rasa takut yang bergelimang di hatinya, sedikit terkikis karena kehadiran Seung Youn.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORACLE (END)
FanfictionKeberuntungan dan nasib buruk, benarkah bisa ditentukan dari sebuah ramalan? Apa keberuntungan lebih utama ketimbang cinta? "Bukankah semua ini karena ramalan? Jadi, buat apa berjuang?" "Kalau tidak ada ramalan, apa mungkin aku memiliki keberanian...
ORACLE - 05
Mulai dari awal
