Bab 7 - Pernyataan Gila

Start from the beginning
                                    

"Bukankah justru kamu lebih peka dengan membawakanku nasi goreng?"

"Ya habisnya, suara perut Kak Lintang nggak nyante sama sekali."

Mereka tersenyum lebar bersama. Untuk beberapa waktu, keduanya membiarkan aroma daging dan kaldu mi mampir ke indra penciuman. Memberikan jeda napas pada kenangan yang menyeret mereka ke nostalgia masa silam.

"Omong-omong ..." Kalimat Lintang tertahan sejenak, "sekarang pindah ke Depok? Sama keluarga?" Pria itu berusaha tersenyum meski jantungnya berdentam keras.

"Enggak. Aku ngekos sendirian di sini. Papa dan Mama masih di Bekasi, kok."

Lintang tak bisa memercayai pendengarannya. Pria itu mengamati wajah Fathiya yang masih sama seperti dulu. Tetap cantik seperti ingatannya. Hanya saja, tawa lepas tak lagi hadir menghias. Apa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya? Karena nyaris mustahil wanita seperti Fathiya belum dilamar atau setidaknya ditaksir pria.

Namun, melihat reaksi Fathiya yang gusar sembari memilin bros dagunya, membuat Lintang merasa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu. Apakah tidak apa-apa jika dia bertanya sekarang?

"Maksudnya, kamu belum menikah?"

Dengan berat hati Fathiya mengangguk. Denyut sakit itu kembali menyerap ke dalam sanubari. Ah, sungguh dia tak ingin hidup terlarut dalam rasa sesak itu terlalu lama. Namun, ternyata otak dan hati tak bisa disinkronisasi semudah itu.

Ujian wanita dengan semua perasaan yang selalu mampu melemahkan logika dan nnnalar di kepala.

Sejenak Lintang memikirkan pertanyaan mana yang hendak diajukan dari ratusan keingintahuan yang mendadak bermunculan di kepala.

"Pacar pun belum punya?" Lintang kembali bertanya.

Fathiya melengkungkan bibir ke atas sedikit. "Mana ada. Aku kan nggak pernah mau pacaran."

Bibir tipis Lintang membentuk huruf O penuh kelegaan. Debar jantung yang kini dirasa masih sama seperti yang dulu menyapa ketika memandang wanita di hadapannya. Degup bahagia, juga keinginan untuk selalu membuat wajah itu tersenyum riang.

"Lah, Kak Lintang sendiri udah punya istri hebat yang mendukung untuk berbisnis bareng, kan?" Wanita itu berusaha mengubah topik. Sejenak Fathiya bisa menilai ada yang berubah dari ekspresi Lintang. Sebuah rasa kini terhalang senyum hambar yang dipaksakan.

"Aku mana sempet mikirin nikah. Aku masih fokus bisnis kedai ini melanjutkan usaha Almarhum Bapak." Ada embusan napas terdengar. "Lagi pula, aku masih belum bisa melupakan cinta pertamaku."

Kali ini jantung Fathiya seperti diempas dari ketinggian.

"Kamu beneran belum ada calon?"

Lagi-lagi pertanyaan itu memberikan sensasi tersendiri di hati Fathiya. Wanita itu pun menggeleng ragu.

"Jadi begini." Lintang berdeham sedikit. "Bisnis mi ayamku sudah lumayan mapan. Aku InsyaAllah sudah punya penghasilan cukup dan punya rumah tinggal di lantai dua." Kalimatnya terhenti. Pria itu memandangi Fathiya yang balas menatapnya heran.

Sejenak Lintang menyeruput es kelapanya dengan gugup. Namun, pria itu sudah membulatkan tekad. Ia tak ingin menyesal seperti dulu.

"Fathiya, maukah kamu menjadi istriku?"

Mendengar kalimat Lintang, Fathiya terdiam beberapa lama.

"Kak Lintang melamarku?" lirih ia bertanya.

Lintang memejamkan mata sejenak dan menarik napas. Tangannya tergenggam erat di atas meja. Tak sampai dua detik pria itu kembali menatap Fathiya dan tersenyum ringan. "Iya, aku melamarmu. Nggak kelihatankah kalau aku gugup?"

Fathiya x Labuhan Hati Antara Kau dan DiaWhere stories live. Discover now