62| Dua sisi

276 14 3
                                    

"Selamat Membaca"

Keesokkan harinya menjadi hari yang buruk untuk Alvin. Setelah perdebatan panjang dengan kakak kandungnya kemarin, Alvin kembali merana di balik kamarnya.

"Argh." Dengan penuh rasa kesal ia mengacak-acak rambutnya melampiaskan rasa frustasinya.

Ini semua karena nona manisnya, Naira. Ia mengacuhkan Alvin dari pagi menjelang hingga petang datang. Di sekolah ia berusaha menjelaskan semuanya tapi Naira terus menghindarinya.

Di rumah juga, Alvin yang sudah berusaha memaksa Davin untuk menginap beberapa hari di rumah Naira demi memperbaiki semua yang sudah ia lakukan, tapi semua usahanya sia-sia. Ia kembali diacuhkan.

"Gue harus apa lagi?" Alvin meremat rambut hitamnya. Ia kesal, marah pada dirinya sendiri.

Ia pun berdiri dari kasurnya lalu memantapkan hati untuk ke kamar Naira. Di tengah-tengah langkahnya yang tinggal selangkah lagi, Alvin merasa gugup. Tangannya pun sampai berkeringat.

Tok Tok

Dengan penuh keberanian, ia mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu kamar Naira.

"Naira, ini gue."

Diam. Tak ada sahutan apapun.

Alvin menghela nafas lalu mulai mengetuk kembali dengan sedikit keras. Dan kembali ia menelan pil pahit karena sama sekali tak ada sahutan dari dalam.

"Ra, gue tahu lo marah sama gue. Gue tahu lo pasti kesal. Jadi gue mohon keluar dulu, kita selesai semuanya sama-sama." Alvin menatap memohon pada pintu berwarna coklat itu.

"Gue mohon, Ra. Gue ingin lo mendengarkan semua penjelasan gue. Gue tahu gue salah disini. Gue tahu gue sudah banyak menyakiti perasaan lo, tapi dengan diamnya lo kayak gini gue juga merasa sakit, Ra." Alvin duduk di depan pintu Naira lalu menyandarkan punggungnya ke pintu coklat itu.

"Nona manis, gue mohon dengar penjelasan gue. Gue gak ada hubungan apapun dengan Vaniska," cicit Alvin melirik pintu kamar Naira.

"Gue tahu lo mendengar semua perkataan gue." Alvin tersenyum kecut. "Apa sebesar itu kesalahan gue sampai lo benar-benar gak mau berhadapan sama gue?" tanya Alvin pada dirinya.

Tanpa Alvin sadari, gadis yang ia ajak berbicara tengah menangis menatap dahan pintu kamarnya. Ia bahkan tanpa sadar ikut menyandarkan punggungnya sembari melirik pintu kamarnya.

"Maafin gue, gue belum siap Alvin." lirih Naira.

Alvin terkekeh menertawakan dirinya sendiri. "Naira," lirih Alvin. "Gue sayang sama lo," ucap Alvin tiba-tiba.

Sementara di sisi lain, Naira melirik pintu dengan penuh tanda tanya. Ia lalu meletakkan satu tangannya ke pintu yang terbuat dari kayu itu.

"Gue juga sayang sama lo, Vin." lirih Naira.

Kepala Alvin sudah ia dongakkan untuk menatap langit-langit atap. "Hanya lo yang ada di hati gue. Gue tahu gue mengatakannya disaat yang tidak tepat. Tapi gue hanya ingin mengungkapkannya saja," ujar Alvin tersenyum tipis.

Alvin lalu menunduk, meremat tangannya. "Entah mengapa hanya lo yang bisa membuat gue jatuh cinta lagi setelah kepergian Karina, Gue bahkan gak bisa jauh-jauh dari lo."

"Saat melihat lo dekat dengan Rio, hati gue marah. Gue ingin memisahkan kalian dan memiliki lo hanya untuk gue saja. Egois bukan?" ucap Alvin tersenyum miring.

"Namun, seiring jalannya waktu gue paham. Lo bukan siapa-siapa gue, gue pun berlomba dengan Rio untuk mendapatkan hati lo." Alvin menghela nafas. "Tapi Rio selalu selangkah dari gue, ia bahkan menyelamatkan lo. Disaat itu gue benar-benar marah, kenapa? Kenapa bukan gue yang ada disitu? Kenapa bukan gue yang menyelamatkan lo?" tanya Alvin pada dirinya sendiri.

Mr. Rain [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang