51| Perasaan Sandra

577 66 4
                                    


"Selamat membaca"


Di malam yang sama terlihat seorang gadis yang tengah uring-uringan. Ia berguling kesana kemari menyusuri kasur dan tatapannya kosong menatap langit-langit plafon.

Suara helaan nafas panjang terdengar jelas di kamar sunyi itu. Bahkan suara nyiur angin malam pun enggan hinggap meramaikan kamar gadis itu.

Merasa bosan dengan kegiatan monotonnya di kasur, kaki jenjang itu melangkah menuju balkon kamarnya. Ia memejamkan mata sembari mengeratkan selimut yang menyampir di bahunya menikmati malam ini.

Ini sudah sering ia lakukan. Tinggal di rumah yang bisa di bilang cukup mewah tetapi tidak ada penghuninya. Tidak ada yang peduli dengannya bahkan jika ia mati pun ia yakin orangtuanya tak menggubrisnya.

"Jangan memikirkan hal yang tak penting, Sandra!" ucapnya pada dirinya sendiri meyakini bahwa semuanya tak ada yang penting baginya.

Ia melangkah masuk kembali dan menghempaskan tubuhnya di kasur dengan kasar. Tubuh, hati bahkan jiwanya sudah merasa lelah dengan semua ini. Luarnya saja ia tidak terluka tetapi dalamnya ia amat terluka dengan sikap orangtua, teman dan orang yang ia sukai.

Ingin rasanya ia menanyakan kepada mereka apa salahnya? Mengapa mereka melakukan ini padanya? Ingin ia lontarkan semua unek-unek yang menumpuk di hatinya tetapi untuk apa ia lakukan itu? Yang ada dirinya hanya dicaci maki karena terlalu cengeng dan lemah. Maka sebagai bentuk pertahanan diri, ia memilih untuk berprilaku buruk dan menyalahkan orang lain yang menurutnya tak pantas ada dihadapannya.

Terutama Naira. Ia amat membenci gadis itu. Mendengar namanya saja sudah membuatnya muak. Jika saja perbuatan Vaniska berhasil menenggelamkan gadis itu, sudah pasti ia akan senang karena tak harus melihat wajah sok polosnya.

Tring~

Suara dering membuat ponselnya bergetar. Dengan rasa malas, Sandra bangun mengambil ponselnya dan mengecek notifikasi tersebut.

Mata hitam itu membelalak begitu melihat apa yang sudah di bacanya. Ia langsung melempar ponsel berwarna putih itu ke kasur dan keluar kamarnya dengan tergesa-gesa.

"Tidak. Itu tidak mungkin," gumam Sandra berjalan cepat ke ruangan ayahnya.

Tok Tok

Mengetuk pintu dengan kasar. "Ayah, buka pintunya. Ada yang harus aku tanyakan." Sandra berulang kali mengetuk pintu ruang kerja ayahnya namun nihil tak ada sahutan apapun dari dalam.

"Aish, sial!!" serunya. Dengan rasa lemas tubuhnya turun perlahan menyender ke arah pintu, menahan beban tubuhnya.

Sandra menenggelamkan wajahnya di antara dua lututnya sembari melampiaskan amarahnya ke pintu. Ia lupa jika ayahnya tidak ada di ruangnya bahkan tidak akan ada di rumah ini.

"Itu tidak mungkin. Gue tidak akan percaya dengan pesan yang dikirimkan Vaniska. Tidak akan!" serunya bulat.

'Rio akan pergi ke Sydney besok.'

***

Keesokkan harinya kelopak mata besar itu mengerjap berkali-kali membiasakan dengan cahaya matahari yang bersinar. Dengan mengumpulkan sisa-sisa semangat di dalam dirinya, ia pun beranjak ke kamar mandi lalu bersiap-siap untuk ke sekolah.

Di sekolah nampak ramai murid yang berhamburan memenuhi halaman dan koridor sekolah. Mereka saling berbincang dan terkadang tertawa bersama membuat Sandra mendecih melihatnya.

Ia melangkahkan kakinya dengan cepat menuju tempat yang ia tuju. Dengan tergesa-gesa, ia melangkah sampai menubruk beberapa orang yang berpapasan dengannya.

Mr. Rain [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang