39| Dua pilihan

710 82 0
                                    

Divoment ya, hargai usaha para author yang sudah meluangkan waktu untuk melanjutkan karya tulisnya..

Selamat Membaca ^_^

Ada yang salah dengan semua ini? Alvin yakin itu. Naira yang ia kenal tidak pernah berkata datar padanya. Sebenarnya apa yang terjadi?

Alvin termenung sejenak di tengah koridor memandang kepergian dua orang berlawan jenis yang barusan bersamanya tadi. Walaupun mereka pergi berlawanan dan meninggalkannya sendiri tapi hatinya tetap tidak terima dengan apa yang mereka ucapkan. Menundukkan dalam-dalam kepalanya sembari bergumam yang hanya di dengarnya sendiri.

"Tidak. Itu pasti bukan Naira yang berbicara. Dia gak mungkin berucap datar sama gue. Ataukah Naira masih marah soal Vaniska?" gumam Alvin bertanya pada dirinya sendiri.

Kakinya ia langkahkan menuju ke depan sembari pikirannya terus memikirkan kemungkinan yang terjadi pada 'nona manis-nya'. Kalau memang gadis itu masih marah padanya mengenai Vaniska, ia akan meluruskannya dan menasehati Naira kalau semua yang gadis itu lakukan tidak benar tapi bagaimana jika Vaniska-lah yang berbohong padanya.

Sekelibat pemikiran itu muncul membuat kaki nya berhenti dan memandang kosong koridor yang telah sepi karena jam ini masih jam pelajaran.

"Siapa sebenarnya yang gue bela ini? Kalau benar-benar Vaniska berbohong, gue gak akan pernah memaafkan gadis itu!" tekad Alvin.

Ia melanjutkan jalannya menuju ke kelas dan memasuki kelasnya yang ramai serta tidak ada guru. Matanya berkeliling bertanya pada teman-temannya.

"Gurunya gak masuk?" tanya Alvin pada ketua kelas yang ia tak tahu namanya.

Pindah sekolah tak membuat Alvin memahami satu per satu teman sekelasnya, ia hanya paham jika orang tersebut sudah akrab dengannya.

Ketua kelas menggeleng. "Gak, bu Dewi hanya memberikan tugas." Alvin hanya menganggukkan kepala tanda mengerti.

Ia pun langsung berjalan menuju bangkunya dan mengambil tasnya. "Kalau gitu gue boleh pergi kan, ketua kelas?" tanya Alvin sembari menatap cowok berkacamata di depannya.

"Iya Alvin, tapi salin dulu tugas yang ada di papan tulis," ucap Ketua kelas itu membuat Alvin menghela nafas.

Alvin pun berjalan mendekati ketua kelas dan membisikkan kata-kata yang membuat cowok berkacamata yang menjabat sebagai ketua kelas itu berjengit. "Bisa gak lo bilang iya aja dan biarin gue pergi!"

Mood Alvin sedang berada di ujung tanduk, jika ada orang yang sedang mencari gara-gara sedikit saja dengannya pasti keluarlah kata-kata menyebalkan dari bibirnya.

"I-iya.."

Setelah mengatakan hal itu, Alvin langsung pergi. Ia tak peduli dengan tugas yang diberikan bu Dewi. Toh dengan otaknya yang encer ia bisa menyelesaikan tugas itu dalam waktu 5 menit saja. Alvin langsung bergegas melangkah dengan terburu-buru, tangannya dimasukkan ke dalam tasnya untuk merogoh benda pipih yang sedang ia cari. Jari-jari panjang itu menekan nomer yang sudah di hafalnya luar kepala. Terdengar nada sambung dan diangkat oleh sang penelpon.

"Lo dimana Davin?" tanpa mengucapkan salam Alvin langsung to the point.

"Eeissstt, sabar napa. Ucapkan salam dulu yang sopan kalau nelpon yang lebih tua my brother."

Alvin menghela nafas mendengar kakaknya yang bertele-tele disaat situasi yang tak memungkinkan ini.

"Jangan bercanda, kakak bodoh. Gue tanya lo dimana sekarang?" tanya Alvin emosi membuat yang ditelpon berdeham sejenak.

Mr. Rain [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang