[Chapter Twenty]

Mulai dari awal
                                    

"Jawab aku, Luke. Di mana Arthur." kedua bola matanya benar-benar terlihat besar—melotot kearah sang tangan kanan. Bukan maksudnya menyudutkan, akan tetapi Archard sedikit curiga akan tingkah laku Luke yang bukan biasanya akhir-akhir ini—Ya, sejak kejadian dua hari setelah penculikan Mate kesayangannya.

Lelaki berkacamata itu terus terpojok. Luke menarik napas dalam dan mencoba untuk mengatakkan yang sejujurnya walau ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. "A-Arthur—"

.
.

Blarr!!

"Tuan Arthur menghilang!!" teriak maid yang tanpa sengaja mendorong pintu kamar Archard dengan keras.

Sontak kedua lelaki itu terkejut dan menyudahi pembicaraan mereka. Jujur, sesungguhnya Archard merasa kesal karena Luke belum memberitahu pergi ke mana adik sialan itu. Sang Lord tak mau harus kehilangan kedua orang yang sama-sama penting dalam hidupnya. Akan tetapi, tentu Teresa lebih penting dari pada adiknya sendiri.

"Di mana terakhir kau melihatnya?" tanya sang Lord, seraya mendekati dan melepas ikatan matanya dengan Arthur.

Maid tersebut mencoba menelaah apa yang telah terjadi dan menceritakan apa yang ia lihat beberapa menit lalu. Memang mungkin sulit untuk dicerna, karena sama sekali tak ada barang yang ia bawa—sandang maupun pangan. Bersih layaknya sebelum adiknya hadir ke kerajaan ini.

Tak ada sorot kebohongan dari mata perempuan dengan sebuah ikat rambut di kepalanya. Akan tetapi, sang Lord masih belum bisa memercayainya begitu saja. Hubungan mereka terikat oleh darah, tak mungkin Archard tidak bisa merasakan keberadaan adiknya walau dengan jarak yang sangat jauh—tapi, mungkin ada yang sengaja memutuskan ikatannya.

Dan hanya ada satu orang di kerajaannya ini yang dapat melakukan hal itu. Sorot matanya kontan berbalik dan kembali mengarah kepada sang tangan kanan.

"Kumohon. Jujurlah, Luke."

~~~~~~~

"Well, i found you, Lazlo Maxrange." moncongnya menampakkan sebuah seringai—seakan ingin segera menyantap hidangannya, "Sayang sekali harga dengan sulitnya mencari dirimu tak sebanding."

Max sungguh-sungguh tak tahu dari mana arah suara orang itu berasal. Apakah dari utara? Selatan dirinya? Timur? Ataukah barat? Pandangannya sangatlah pendek karena gelapnya malam. Ia hanya bisa melihat pohon dan semak-semak di dekatnya—itupun samar-samar. Bodohnya, lelaki berjubah hitam itu tak membawa persenjataan sama sekali di sisinya, hanya sebuah pisau dan kotak bekal untuk bekal perjalanannya.

"Keluar kau! Siapapun dirimu aku tak takut!" teriaknya memberanikan diri, seraya menarik Teresa untuk berada di belakangnya—relfeks.

Max mendengar suara tertawa dari segala arah. "Kau pikir, aku takut denganmu? Apalagi itu hanya sebuah pisau anak-anak." sindirnya sambil menampakkan wajahnya dari arah tenggara lelaki tua itu.

Max sedikit lega, "Oh kau. Rupanya hanya seekor serigala penakut yang tak sengaja menabrakku tempo hari." ucap Max memberanikan dirinya.

Tentu saja, Arthur menggeram tersulut api kemarahan mendengar celotehan tak punya rem itu, "DIAM. Asal kau tahu—

Ini kesempatan bagi Max, ia mengodekan kepada Teresa untuk kabur saat hitungannya menjadi nol sebelum serigala haus akan uang itu selesai berbicara dan mengoceh tak jelas. Namun, Teresa malah diam seribu bahasa—layaknya seseorang yang dikutuk menjadi patung, dan terus melamun kearah serigala berbulu biru keabu-abuan yang terus saja mulutnya tak dapat menutup untuk bicara. Sekali, dua kali kesempatannya akan hilang. Max harus cepat. Arthur akan segera menyelesaikan percakapannya dan ia harus lari secepat angin.

"—aku sudah lelah ke sana ke mari mencari gadis itu, rupanya ada bersamamu. Aku harus membawanya pulang kau tahu. Kakakku menjadi gila karenanya." ucapnya panjang lebar. Tapi, kau sudah terlambat Arthur. Mereka sudah kabur dua menit yang lalu.

Ya, tepat sekali. Kau di permainkan. Cepatlah kejar. "Aku dipermainkan!!! Aku akan membunuhmu!" teriaknya menggelegar membuat para burung gagak di hutan gelap itu bertebangan kesana kemari.

Hanya berjarak sekitar lima meter darinya, Max terus menggeret tangan Teresa untuk berlari. Sayangnya, entah apa yang merasukinya gadis itu terus diam tak mau bergerak, Max berlari tunggang-langgang sedangkan Teresa hanya bisu terseret.

"Teresa! Bangunlah! Bantu aku!"

Tbc.

Hooray. It's 20 guys. Pyuh. Ah ya, untuk aku hanya memberitahu jika semuanya akan segera terungkap. Maka.. kalian tahu lah.

Hehe.

And greatly thanks to my friend daesynbriella yang telah membantuku merangkai plot cerita ini.

See ya in Chapter 21 : Flashback.

1/10/19.

The Bastard Alpha [Story#1 Zegna.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang