(17.) Kasih Tak Terbalas

656 13 0
                                    

Cerpen Karangan: Wildan El Fadhil

Cinta menjadi kebutuhan setiap orang, tanpa cinta hidup terasa hampa, kehilangan cinta sama dengan kehilangan seluruh harapan. Harapan yang sudah dipupuk untuk hidup bersama, ternyata hilang diambil orang.







Begitulah yang dirasakan Azis. Ku lihat Azis hidupnya tak menentu, makan pun sering tidak teratur, hanya status-status galau yang muncul di media sosial miliknya, aku tahu hidupnya hancur setelah ditinggal cinta pertamanya.

"Kamu kenapa Zis?" tanyaku. Ia terdiam, seolah tak ingin menjawab pertanyaanku.

"Si ber*ngsek itu udah ambil pacar aku Dan." jawab Azis dihiasi dengan gejolak amarah dan air mata.

Siapa Zis? Aku gak tahu Dan... Akhirnya ia ceritakan semuanya kepadaku. Una pacar pertama Aziz yang ia kenal saat menginjak bangku kuliah.

"Eh nama kamu siapa?"

"Aku Una, kamu?" jawabnya dengan senyum manis yang muncul dari bibirnya.

"Aku Aziz, salam kenal ya."

"Iyaaa." Akhirnya sampailah pada sesi pertukaran nomor telepon. Lama-kelamaan akhirnya mereka menjadi pasangan, padahal banyak wanita yang mendekati Aziz, tapi hanya Una yang dipilih.

"Kamu sayang aku gak?" kata Una.

"Iya dong.." Jawab Azis.
"Siap kuliah, cari kerja terus lamar aku ya? Hehe," lagi-lagi dengan senyuman yang cukup meyakinkan.

"Iyaa sayang..." jawab Azis dengan nada yakin.

Hubungan mereka adem-adem saja di tahun pertama, setiap hari mereka sering bersama-sama ke mana pun mereka pergi.
tugas Azis hanya menemani Una di sela-sela kuliahnya, tidak ada kegiatan selain itu, banyak tawaran untuk bergabung di berbagai komunitas muda mudi, tapi ditolaknya, demi menjaga hati Una untuk tidak cemburu.
Namun libur panjang kuliah menjadi pemisah kebersaamaannya selama ini, Azis harus kembali ke kampung halamannya untuk berlibur, begitu juga Una.

"Sayang kalau kamu pulang kampung jangan lupain aku ya." kata Una tetap dengan senyum yang sama.

"Iyaaa sayang, gak mungkinlah aku lupain kamu, hehehe, aku pulang dulu ya."

"Iya sayang, hati-hati ya." kata Una.

"Ingaaat, kamuu haa..ruus se-ti-a." tambah Una sambil menggerakkan telunjuknya.

"Iyaa, iyaa sayang aku janji kok." jawab Azis penuh dengan senyum menawan.
Liburan panjang hampir usai, hanya menunggu hari untuk kembali bersama-sama, hanya via pesan singkat, mereka berbagi suka duka selama ini.

"Sayang aku kangen kamuuuu." isi SMS Azis penuh manja.

"Kamu sabar aja ya!" balas Una. Setelah itu Una sangat sulit dihubungi, apa yang disembunyikannya?

"Ada apa ya? pasti ada sesuatu yang disembunyikan?" Gumam Azis dalam hati.

Rindunya bertambah sudah 3 bulan ia tidak berjumpa dengan kekasihnya, di sisi lain, hatinya bimbang, curiga dengan kelakuan Una.
Rasa sabarnya menipis, seolah ia merasa dipermainkan oleh wanita itu, ia layangkan sebuah pesan singkat melalui telepon genggam miliknya.

"Kalau kamu enggak mau lagi sama aku, bilang! jangan mainin hati aku dong!"

Setelah satu jam baru genggam Azis berdering.
"Aku mau jujur sama kamu Zis." kata Una, tak ada lagi panggilan sayang seperti biasa, suaranya terputus seolah ia baru menangis.

"Iya apa yang mau kamu sampain?"

"Sebenarnya, aku dijodohin Zis, aku gak mau, tapi aku dipaksa." jawab Una dihiasi dengan air mata.

"Apaaa?" Azis terkejut mendengar perkataan Una, seolah langit runtuh menimpa punggungnya.

"Maafin aku Zis."

Teung.... teung,... (Azis mematikan telepon) Air mata ke luar membasahi pipinya, hatinya hancur, mengingat semua pengorbanannya untuk Una yang dibalas dengan pengkhianatan.

"Wanita ber*ngsek... kalau tahu gini, aku gak bakal mau sama dia."

"Ya rabb, kenapa harus seperti ini?"

Berkali-kali Una mengirim pesan, tapi tak pernah dibalasnya.

"Maafin aku Zis!"

"Aku gak maksud khianatin kamu, aku dipaksa ayah."

"Bagaimana aku bisa percaya? Sekarang gak da yang perlu dijelaskan lagi. jangan SMS atau telepon aku lagi, masalah kita biarlah jadi kenangan, kamu sudah memilh, aku pasrah, aku terima, salam dari aku yang pernah mencintaimu."

Berbulan-bulan rasa sakit diderita Azis, kuliahnya tidak dipedulikannya lagi, nilainya menurun drastis, berita yang diterimanya sangat menyakitkan.
Una sudah dilamar dan sebentar lagi akan menikah. Aw.. aw.. aw.. Sedih ditambah pedih, luka menjadi semakin besar. Pernah sekali ia jumpai Una sedang bermesraan dengan tunangannya, namun tidak ia pedulikan, meski Una coba mencari perhatiannya. SMS Una tak dipedulikannya.

"Maafin aku Zis." Kata-kata itu sudah muak didengarnya, rasa sakit hatinya tidak ada obatnya, kenangan bersama Una tidak bisa dilupakannya.

Akhirnya ia tinggalkan kota tempatnya menuntut ilmu, kembali lagi ke kampungnya, semua media sosial dihapusnya, nomor telepon genggam pun digantinya. Di kampung pun hidupnya tidak menentu, orangtuannya semakin bingung dengan keadaannya sehinggga ia dikirim ke rumahku, dengan harapan aku bisa menjadi pembangkit semangatnya.

"Sudahlah Zis, lupakan saja! Jodoh itu ketentuan Tuhan, apa kamu mau terus-terusan seperti ini? berharap jodoh orang lain menjadi milikmu? Tidak mungkin Zis!"

"Kamu gak perlu menunggu, kalau memang jodohmu, tetap akan jadi milikmu, gak akan tertukar." Azis melihatku tajam, ku lihat ia semakin mendekat, apa sebenarnya mau dilakukannya?

"Terima kasih kawan, terima kasih untuk segalanya." Azis memelukku erat dihiasi dengan tetesan air mata.

Meski hatinya yang hancur tidak mungkin terobati dengan cepat, tapi perlahan ku lihat semakin ada perubahan dalam dirinya. Perubahan setelah kehancuran yang dideritanya hanya karena cinta, cinta yang belum ada jaminannya.

Kumpulan Cerpen Cinta SedihWhere stories live. Discover now