"Pesen apa, Eve?" tanya Vino dengan mata yang memperhatikan daftar menu.

"Gado-gado aja, Pak."

"Minumnya?"

Aku membuka showcase, mengambil sebotol air mineral dingin. Tubuhku butuh cooling down.

Vino menyantap ayam gorengnya dengan lahap. Sedangkan aku nggak punya selera lagi untuk menyentuh gado-gado.

"Nggak enak ya gado-gadonya?" tanya Vino kemudian.

"Enak, kok," aku memasukkan sesuap ke dalam mulut.

"Kamu makannya sedikit banget. Takut gendut?" tanyanya iseng.

"Siapa yang nggak takut, Pak. Jelek dong saya entar di depan kamera," balasku ikut iseng.

Vino memiringkan kepalanya. "Naik beberapa kilo juga nggak bakal keliatan, Eve. Tetap cantik, kok. Kamu kurus begini. Padahal kamu kan tinggi."

Pipiku memanas. Aku buru-buru meneguk air mineral.

"Nggak lapar tapi haus banget, ya. Itu air mineralnya sampai udah mau habis," Vino tertawa geli.

Aku memaksakan seulas senyum. Kalau aja Bapak tahu, saya itu nervous deketan sama Bapak terus.

Ponsel Vino berdering. Dia melirik ke layar, lalu mengangkatnya.

"Halo, Pa?...Lunch di kantor. Papa?...Oh, astaga. Mama beneran masih ngambek?...How could she come up with those ideas? That's insane...I'll talk to her...Oke. Aku pulang ke rumah malam ini...Oke, Pa. See you. Bye."

Vino meletakkan kembali ponselnya di atas meja tanpa menjelaskan isi percakapannya dengan sang papa.

Mama Pak Vino ngambek? Karena apa, ya?

"Mama saya ngira saya homo atau saya punya penyakit mematikan," jelasnya.

God, did I say it out loud?

"Pemikiran ibu-ibu yang minta menantu dan cucu rada horor, ya," Vino berbicara lagi. "Anaknya sehat dan normal begini kok dituduh yang nggak-nggak."

"Prove it, then. Ke Mama Bapak."

"Ya ceweknya mana? Masa kamu? Bisa hancur pertemanan saya sama Marco," Vino menjawabnya sambil tersenyum geli.

Alesan. Dasar aja Bapak nggak suka sama saya.

***

Sebenarnya aku tahu yang aku lakukan saat ini salah. Membiarkan Marco terus dekat denganku sementara aku masih sibuk memikirkan kemungkinan Vino menyukaiku balik.

Aku juga beberapa kali menjauhinya. Maksudnya, ya aku nggak mau jadi cewek PHP. Tapi, di satu sisi, aku juga mau membiasakan keberadaan Marco di dekatku.

Witing tresno jalaran soko kulino masih berlaku, kan?

"Ternyata tadi aku meeting sama temen SMA-ku, Eve. Pikun banget ya aku sampai lupa sama dia," ucap Marco di perjalanan pulang menuju rumahku.

"Ya kalau bukan teman sekelas bisa aja lupa, sih. Aku juga gitu," jawabku.

"Iya, sih. Kami beda kelas. Cuma dia inget banget sama aku. Katanya karena dulu aku main bola di lapangan terus bola yang aku tendang mecahin kaca ruang kelas dia."

"Kamu badung ya pas SMA. Masuk ruang BP, dong?"

Marco mengangguk. "Udah langganan. Tobatnya pas kuliah."

"Alhamdulillah masih dikasih kesempatan buat tobat," balasku sambil tersenyum geli.

Oh iya. SMA. Aku baru ingat.

"Kamu satu SMA sama Pak Vino, kan?" tanyaku.

Marco mengangguk. "Kok tahu?"

"Pak Vino yang cerita. Kok kamu nggak pernah cerita ke aku?"

Marco tersenyum tipis. "Nggak penting juga sebenernya. Kapan Vino cerita ke kamu?"

"Tadi siang. Pak Vino juga cerita soal freshgrad yang kamu kenalin ke dia. Kamu asal-asalan banget sih milih ceweknya. Pilih yang qualified, dong. Kamu ngerjain dia, ya?"

"Hmm," Marco fokus pada jalanan di depannya.

"Masa katanya cewek itu langsung minta dihalain, Co. Kamu kenal cewek itu di mana?"

"Di mana-mana hatiku senang," jawabnya asal.

"Haha. Lucu," aku merengut.

Marco menoleh padaku sekilas. Dia berkata, "ngomongin Vino aja kamu ekspresif banget, Eve."

Astaga. Benar juga. Aku buru-buru menolehkan kepala padanya.

Marco marah deh kayaknya.

Suasana hening sampai mobil Marco berhenti di depan rumahku.

"Aku langsung balik, ya. Nggak papa, kan?" tanyanya karena biasanya Marco akan masuk dulu untuk minimal menyalam Ibu Bapak.

Aku menganggukkan kepala. "Oke. Ehm...hati-hati nyetirnya, Co," aku melepas safety belt. "Sampai ketemu besok."

Jika biasanya Marco akan bertanya apakah besok aku mau dijemput atau tidak, malam ini berbeda.

Dia membiarkan aku keluar dari mobil tanpa sepatah kata pun. Cuma terdengar bunyi klakson mobilnya sekali sebelum benar-benar meninggalkan komplek rumahku.

Aku jadi nggak enak sama dia. Tapi masa cuma karena hal kecil kayak tadi Marco ngambek? Bukan Marco banget.

Setelah mandi dan siap untuk tidur, ponselku berdering.

Marco. Tumben dia nelfon malam-malam begini. Jangan-jangan Marco kenapa-napa nih di jalan.

"Halo? Kamu ken—"

"I'm sorry."

"Untuk?"

"Tadi. I was childish back then. But it's  only because I'm jealous, Eve."

"Maaf, Co. Aku nggak maksud—"

"I know. Makanya aku minta maaf. You must be uncomfortable. My bad. Maaf, Evelyn."

"Oke. Forget it. Nggak ada yang perlu minta maaf dan dimaafin. Now, we better sleep. Aku ngantuk. Emangnya kamu nggak?"

"Nggak. Kepikiran terus sama kelakuan childish aku tadi. Kamu tahu aku, Eve. Aku nggak terbiasa ngebiarin masalah apa pun, even yang kecil banget, berlarut-larut. Makanya aku telfon kamu sekarang."

"Iya, Bapak Marco. Tapi sekarang udah hampir jam sebelas. Ngantuk banget nih. Ngobrol sama guling aku aja mau?"

"God, kamu bikin aku mikir...Oke. Lupain. Goodnight, Eve. Have a nice dream."

Bukannya makin ngantuk, yang ada mataku jadi nggak bisa tertutup. Tiba-tiba semuanya berputar di kepalaku.

Yang mengambil porsi terbesar adalah rasa bersalahku pada Marco.

***

Thank you for reading
See you on the next chapter



Mission : Discovering LoveМесто, где живут истории. Откройте их для себя