Tanya Hati (2)

27.2K 4.9K 265
                                    

Happy sunday, everyone. Manfaatkan hari libur dengan istirahat yang cukup atau hablumminannas ya :)

Enjoy
*
*
*

"Eve, mau ke mana?" panggilan Vino menghentikan langkahku yang siap meninggalkan kubikel.

Aku mengelus perut. "Kantin. Laper, Pak."

"Yang lain?" tanyanya merujuk anggota gank-ku.

Aku memasang senyum tipis. "Makan siang sama pasangan masing-masing."

Nana yang segedung kantor dengan suaminya memilih makan siang di warung burger. Ngidam. Robi nyamperin istrinya di mal. Ajeng masih honeymoon ke Bahama.

Punya suami kaum jetset mah bebas. Honeymoon ke Antartika juga kalau Ajeng minta pasti diturutin sama Gandi.

"Bareng deh kalau gitu," ucapnya santai.

Si jantung yang lemah ini langsung berdebar-debar dengan kecepatan di atas rata-rata. Tangan kananku meremas dompet dengan kuat.

"Nggak bareng Marco?" tanyanya saat kami berada di lift.

"Meeting di luar," jawabku sok santai.

Dia mengangguk-anggukkan kepala. Beberapa karyawan masuk ke dalam lift. Mereka menyapa kami berdua.

"Parah tuh pacar kamu, Eve," lanjut Pak Vino.

Aku menolehkan kepala padanya. "Pacar?"

"Marco. Pacar kamu, kan?"

Kepalaku langsung menggeleng. "Bukan. Kami temenan, kok. Lagian parah kenapa emang?"

Vino merapatkan tubuhnya padaku, lalu berbisik, "masa dia ngenalin fresh graduate yang masih kinyis-kinyis ke saya."

Aduh. Bisa sesak nafas nih kalau dipepet secara harfiah begini sama Vino. Inhale. Exhale.

"Ya...kali aja cocok, Pak," balasku setenang mungkin.

Masih berbisik, Vino berkata, "ya nggak 22 tahun dan isi kepalanya cuma mau dihalalin doang dong, Eve."

Aku tersenyum. "Jangan-jangan Marco ngerjain Bapak."

"Kayaknya sih. Nggak hormat banget tuh anak sama senior."

"Technically, kalian sejajar loh."

"Jabatan, iya. Tapi dulu di SMA dia junior saya tahu."

Kedua mataku membelalak. "Beneran? Marco nggak pernah cerita."

Bahkan seingatku, Marco nggak pernah jadiin Vino topik obrolan kami.

Ting. Lift berhenti di lantai empat. Bukannya semakin berkurang, orang-orang makin ramai memasuki lift. Kami berdua terdorong ke ujung kanan.

Vino meletakkan telapak tangannya di belakang kepalaku tepat saat kepalaku hampir terbentur.

Wangi banget, sampai nggak bisa nafas beneran. Aku butuh inhaler.

"Are you okay?" tanyanya dengan suara yang sedikit lebih rendah.

Masalahnya sekarang adalah tubuh kami berhadapan dengan jarak yang-astaga, kepalaku sekarang sakit-dekat banget.

Aku cuma bisa mengangguk sambil menelan ludah berkali-kali.

"Rame banget nih. Tumben," dia masih menggumam. "Nggak sesak, kan?"

Hati dan hidung saya yang sesak karena jarak dan wangi tubuh Bapak, gerutuku dalam hati.

Rasanya aku baru bisa bernafas lega saat lift sudah berhenti di lantai dasar dan kami mulai berjalan menuju kantin.

Mission : Discovering LoveWhere stories live. Discover now