22 | Sian Naufal Samudra

43 7 0
                                    

Sinar matahari pagi menelisik masuk melalui celah-celah pepohonan yang langsung mengarah pada sebuah ruang kelas tempat Nila berada, cahaya terang itu menyinari wajah ayu gadis yang sedang memejamkan matanya. Suara kicauan burung seakan menambah suasana tenang yang tercipta.

Hari ini Nila datang ke sekolah sangat pagi. Ia berangkat dari rumah sekitar pukul 05:30 dan sampai tepat jam 05:47. Suasana sekolah masih sangat sepi, yang ada hanya satpam dan beberapa petugas kebersihan sekolah yang sedang bertugas. Sengaja ia datang sangat pagi karena ia tidak ingin mendapatkan tatapan sinis juga cibiran-cibiran pedas dari para murid yang berpapasan dengannya, terutama Caramel dan kawan-kawan.

Sesampainya di kelas, ia menyandarkan kepala pada kedua tangannya yang terlipat diatas meja. Matanya terpejam menikmati kesunyian yang telah menjadi teman baiknya. Dalam diam, pikirannya secara tiba-tiba melayang membawanya kembali membayangkan hal-hal buruk yang telah menimpanya secara berturut-turut.

Mulai dari pem-bully-an, difitnah, menerima kenyataan pahit, hingga kini Gading yang tidak mengenalinya. Apa lagi yang akan terjadi selanjutnya? Gumam Nila dalam hati.

Di ujung kelas, pintu terbuka perlahan dan masuk seorang laki-laki dengan earphone di telinga yang menjadi ciri khasnya. Ia berjalan mendekati Nila yang masih dalam posisi yang sama, tidak bergerak sedikitpun. Tangannya menyentuh puncak kepala gadis itu dengan lembut. Nila yang merasakan sentuhan itu lantas membuka mata dan ia dengan cepat duduk tegap sambil melirik orang itu.

"Gading!" serunya dengan senyuman termanis. Sayang, ketika ia menatap wajah laki-laki itu, bukanlah Gading yang ia lihat, melainkan Sian yang berdiri sambil tersenyum.

"Ini aku," ujar Sian.

"Hm ... maafin aku, Sian, aku kira kamu Gading." Nila sungguh kecewa.

"Kamu gak perlu minta maaf, kamu gak salah. Wajar aja kamu kayak gitu karena kamu lagi mengharapkan kehadiran Gading."

Nila menunduk, ia memainkan kuku jari-jari tangannya yang lentik.

"Maaf sebelumnya, aku denger Gading amnesia. Apa itu benar?" tanya Sian hati-hati.

"Ya ... begitulah. Dia gak inget sama aku." Nila tersenyum getir.

Sian berlutut di samping Nila. Ia meraih kedua tangan Nila dan menggenggamnya seerat mungkin. Sian berusaha menguatkan Nila, genggamannya itu seakan memberitahukan pada gadis itu bahwa ia akan selalu ada untuk melindungnya.

Nila menoleh pada Sian, tatapan mereka berdua bertemu, entah apa arti tatapan Sian itu, tapi yang jelas Nila bisa melihat ketulusan dari sorot mata laki-laki tampan itu, dan tatapan yang diberikan Sian sungguh menenangkan hatinya.

"Kamu jangan sedih kayak gini. Aku yakin Gading pasti akan dengan cepat ingat kamu lagi. Kamu adalah gadis yang paling berarti untuk dia, dia sungguh beruntung bisa milikin kamu. Kamu tenang, ya."

"Tapi ... gimana kalau Gading gak bisa inget lagi sama aku? Bisa jadi dia hilang ingatan secara permanen."

Sian terkekeh dengan lirih. "Apa pikiran kamu itu dirancang khusus untuk mikirin hal yang negatif?"

Merasa tersentil dengan perkataan Sian, ia kembali menenggelamkan wajahnya diantara lipatan kedua tangannya di meja.

"Oh ayolah, Vani. Be strong girl, aku tau kamu ini bukan gadis lemah."

"Simpen aja ucapan kamu itu buat gadis lain. Karena pada kenyataannya aku ini gadis cengeng," balas Nila.

"Oh, ya?" goda Sian.

"Iya! Kamu lupa pas aku nangis karena ulah Jingga?" tanya Nila menohok hati Sian.

"Vani, nangis bukan berarti kamu lemah atau cengeng. Wajar aja kamu nangis waktu itu, karena kamu punya perasaan. Tapi aku yakin, kamu adalah seorang gadis yang kuat dan gak mudah nyerah."

Lonely GirlWhere stories live. Discover now