11 | Menangislah

41 12 0
                                    

Tok ... Tok ... Tok ...

Entah untuk keberapa kalinya suara ketukan pintu itu terdengar. Nila sama sekali tak mempedulikan hal itu, ia hanya menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya yang sangat memilukan.

Remasan tisu yang telah basah oleh air mata berceceran dilantai, seprai kasur yang sudah tidak berbentuk lagi, serta selimut tebal yang teronggok di pojok kamar membuat kamar itu sangat berantakan seperti perasaan sang pemilik. Air mata terus menerus jatuh dari pelupuk matanya. Matanya bengkak akibat terus menangis.

Hari mulai siang, Gading dengan setia bersandar di pintu kamar Nila sambil sesekali mengetuk dan memanggil gadis itu. Sayangnya usaha tersebut tidak membuahkan hasil, yang ada hanya suara tangisan yang kian melemah dengan beberapa kali terdengar suara benda yang terlempar.

Gading benar-benar tidak tega mendengarnya. Ia merasa tidak berguna karena tidak dapat membuat Nila berhenti menangis.

"Gading." Suara lembut itu membuat sang pemilik nama menoleh.

"Tante Ning?" Gading berdiri dari duduknya.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini? Pulanglah, nak," bujuknya.

Pulang? Mana mungkin aku pulang ninggalin Nila yang lagi nangis di dalem?

Kening Gading mengkerut heran, ia tak habis fikir dengan orang tua Nila yang begitu cuek terhadap anaknya. Mereka sama sekali tidak berusaha membujuk Nila agar gadis itu berhenti menangis. Dan sekarang, Kemuning malah menyuruhnya pulang. Yang benar saja!

"Enggak, Tante, aku bakal tetrp di sini jagain Nila."

"Tapi, nak ka-"

"Maaf, Tante, apa Tante gak peduli sama Nila? Maksud Gading, kenapa Om dan Tante gak ngebujuk Nila untuk berhenti nangis?" sela Gading sarkas.

"Bukannya kami gak mau, tapi setiap kami akan pergi Nila memang selalu kayak gini," jelas Kemuning.

"Apa kalian gak peduli sama Nila?" tuduh Gading.

"Kalau kami gak peduli sama Nila, untuk apa kami menyibukkan diri bekerja? Kami lakuin ini semua buat Nila, untuk kelangsungan hidupnya yang terjamin."

"Tapi bukan itu yang Nila mau, Tante! Mengertilah." Nada suara Gading meninggi.

Kemuning tersentak dengan perkataan Gading. "Maaf, Gading. Tante sama Om harus pergi sekarang. Kalau kamu emang gak mau pulang, tolong jaga Nila." Kemuning menepuk pelan bahu Gading dan berlalu meninggalkannya.

Gading menggertakkan giginya geram dengan sikap orang tua sahabatnya itu. Bagaimana mereka tidak mengerti perasaan anaknya sendiri? Tangan Gading terkepal kuat.

"Nila! Buka pintunya, jangan lemah kayak gini!" Gading mengetuk pintu kamar itu dengan kuat.

Nila yang mendengar panggilan Gading merasa aneh dengan nada bicara lelaki itu, nampaknya Gading sedang marah akibat berhadapan dengan Ibunya tadi.

"Nila, buka! Kamu jangan kayak gini!" sentak Gading. Ia mencoba memutar-mutar knop pintu itu.

"Nila ... Kumohon, buka pintunya ..." Suara Gading sedikit melunak. Ia menghela nafas kasar.

Ceklek ...

Mendengar suara kunci pintu yang terbuka, Gading segera membuka pintu kamar Nila. Begitu pintu itu terbuka, terlihat sosok Nila dengan wajah sembab dan berlinang air mata. Gading mendekap tubuh lemah gadis itu, ia mengusap punggung Nila membuat tangisan Nila semakin menjadi.

"Menangislah kalau itu buat kamu tenang. Tapi aku mohon, setelah itu jangan kamu lakuin hal ini lagi," bisik gading lembut tepat di telinga Nila.

"Ga-Gading ... hiks ... Aaa ... hiks ..." Nila meraung dalam dekapan lelaki itu.

Lonely GirlWhere stories live. Discover now