Beda dengan Elang yang hampir seluruh bagian tubuhnya sudah tertutup, bahkan laki-laki itu juga memakai masker. Ya Tuhan! Apa serunya manjat gunung tapi seolah mau berpergian kelar planet, sekalian saja Elang kumasukkan ke dalam karung. Entar aku gotong sampai ke puncak. Biar tambah afdol kan.

Gunung Prau ini bukan gunung berapi aktif, tetapi ia termasuk salah satu gunung yang berada di kompleks gunung berapi besar, yaitu Dieng Plateua. Orang-orang yang pernah mendaki Gunung Prau pasti sepakat bahwa pendakian gunung itu medannya tidak terlalu berat, jika dibandingkan Gunung Semeru ataupun Gunung Merapi. Untuk itu, Gunung ini sering digunakan sekadar untuk camping.

Gunung ini berada di perbatasan tiga kabupaten, yaitu Wonosobo, Batang, dan Kendal.

Ada beberapa jalur untuk mencapai puncak Prau, seperti Jalur Patak banteng, Kali Lembu, Dwarawat, dan Dieng. Jalur yang paling terkenal pastinya adalah Patak Banteng, selain jalurnya paling cepat dan hanya 3 pos, jalur ini juga memiliki keindahan yang membuat siapapun pasti memilih jalur ini sebagai pilihan pertama.

Sayangnya aku dan Elang, tidak. Kami berdua pernah mendaki Gunung Prau lewat jalur ini, jadi untuk kali ini kami memilih jalur Dieng yang lebih menantang.

Jalur ini memilki empat pos. Dan pendakian kami dimulai.

"Gue pengin deh punya cewek yang bisa diajak hiking," komentar Elang di sela perjalanan mereka.

Tanpa menoleh padanya, aku menjawab. "Biar bisa lo apa-apain ya pas di puncak."

"Sembarangan!" sahut Elang tidak terima. "Lo pikir gue sebejat itu apa. Ya kagaklah... cewek yang pas daki itu, cakepnya serratus persen meningkat."

"Ini secara nggak langsung, lo muji gue cakepkan?" Kali ini, aku menoleh dengan senyum terpampang meledek.

Elang pura-pura muntah.

Kami mulai mendaki dari jam tiga sore, karena sudah pernah mendaki Gunung Prau dan yah... sering mendaki gunung-gunung lainnya, aku dan Elang punya banyak kenalan dan tidak susah untuk lewat dari peraturan pendakian yaitu memakai guide.

Pos satu dinamakan Pos Gemekan. Dari basecamp, menurut informasi bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Aku dan Elang, memilih tidak berpacu dengan waktu. Kami ingin santai-santai saja, yang penting sampai, lagipula target kami adalah sampai sebelum sunrise. Dan kami masih punya banyak waktu, sunrise masih lebih dari dua belas jam lagi.

Karena melintasi lading sayur penduduk, beberapa kali aku sempat berhenti untuk memotret dan yah... siapa tahu bisa jadi bahan riset. Elang hanya geleng-geleng saja melihat tingkahku itu.

"Susah ya, mendaki bersama dosen," cibirnya.

Aku hanya menjulurkan lidah, meledeknya. Meskipun aku dosen, toh aku tetap keren. Kondisi jalurnya masih sangat santai, berbatu dan landai. Seingatku dulu, model jalur ini mirip jalur pendakian via Patak Banteng menuju pos satu. Ah ya! Ladang kentang, aku jadi ingat dulu saat pertama kali mendaki Gunung Prau, mendapat bekal tiga buah kentang dari penduduk sana.

"Fotoing dong, Lang," pintaku seraya menyodorkan handphone. Girl always be like girl. Berburu foto juga sebuah kewajiban bagiku kalau mendaki. Ngomong-ngomong aku juga sebenarnya membagikan pengalamanku mendaki di Instagram, pengikutku ya memang tidak sebanyak Nadine Chandrawinata. Tapi yah, cukup lumayan untuk menjadi insipirasi kawula muda. Iuh.. bahasaku mulai menjijikan.

Empat puluh menit kemudian, kami sampai di pos satu. Legah luar biasa dan tidak lupa, aku mengabadikan foto tulisan pos. Biar bisa jadi bahan posting.

"Minum," sodor Elang. Aku mengambilnya, tak lupa sambil memandang wajah Elang. Kalau dipikir-pikir Elang ini memang cakep banget, wajar banyak mahasiswiku yang sering ngomongin dia.

Pull StringWhere stories live. Discover now