#Chapter 29

19.6K 473 2
                                    

Happy Reading

Bel istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Kini mereka sedang duduk di kantin sambil memperhatikan orang yang berlalu lalang. Angga, temannya ini terus menerus mengajaknya berbicara. Bahkan cowok ini sedikit curhat mengenai sikap Bulan yang akhir-akhir ini berubah tanpa alasan yang jelas.

Sempat dia ingin angkat kaki meninggalkan temannya, sebab tidak tertarik dengan obrolan Angga yang menurutnya begitu membosankan untuk didengar. Namun, ketika dia melihat Lea dan teman-temannya berada di tempat yang sama, hanya berjarak enam langkah, membuat dia membatalkan niatnya itu.

Milo meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, mengetik sebuah pesan untuk dikirimkan pada seseorang. Beberapa saat kemudian, tampak Lea menatap ponsel miliknya dengan mata yang membesar dan pipi yang digembungkan menambah kesan menggemaskan bagi Milo, ralat di mata semua orang.

Mata mereka saling bertemu, namun hanya sesaat sebelum Lea memberikan sinyal membunuh padanya. Dia mengedikkan bahunya acuh seolah-olah tidak mau tahu dengan apa yang akan terjadi nantinya. Toh, dia melakukan ini sebagai persyaratan yang sudah dijanjikan istrinya tadi pagi ketika sarapan.

Sebelum beranjak dari duduknya, Lea menggebrak meja hingga dua orang yang tengah lahap memakan mie ayam terlonjak kaget.

Dua menit setelahnya, Lea berjalan kearah meja yang ditempati Milo. Meletakkan piring yang berisi siomay tanpa pare sesuai pesanan cowok itu. Angga yang melihat kejadian langka tersebut terheran-heran. Baru kali ini, baik Lea maupun Milo tidak ada yang memulai perdebatan, tidak seperti biasanya.

"What the hell, ada hubungan apa lo sama Lea? Kalian udah, ehm," kata Angga setelah Lea kembali ke meja asalnya.

"Gak ada lah," Milo menyuapkan siomaynya ke mulut, "gue sama dia tetap akan jadi musuh asal lo tau."

Angga memicingkan matanya dengan curiga. Dia berpikir, musuh seharusnya tidak berperilaku seperti tadi. Biasanya jika musuh bertemu musuh akan menghasilkan ledakan. Ledakan itulah yang nantinya akan menghasilkan perasaan suka dan tertarik. Dan Angga yakin Milo terpikat dengan lawan jenisnya.

"Apa lihat-lihat!" kata Milo dengan sinis. "Gue normal seratus persen dan masih doyan cowok eh cewek maksudnya. So, lo jangan berharap lebih sama gue," lanjutnya.

"Hah," Angga menyunggingkan bibirnya sebelah, "lo pikir gue maho gitu. Haha, jangan mentang-mentang gue sama lo terus, standar rasa suka gue terhadap cewek berkurang."

"Ya terus, kenapa lo natap gue begitu banget selain punya perasaan lebih?"

"Lah bebas, anak sultan, lagi pula ini kan mata punya gue bukan lo."

"Iya-iya terserah apa kata lo," Milo menatap malas temannya. "Lo kayaknya harus tau deh, tapi jangan bilang siapapun ya. Sebenarnya Lea itu-"

"Lea!" Angga menyerukan nama gadis itu begitu lantang hingga perhatian orang-orang teralihkan. "Parah banget masa, musuh lo ini ngomongin dari belakang. Gak ada akhlak banget ya kan. Kalau berani mah seharusnya di depan muka langsung. Benar gak?"

Milo menaruh sendok yang dipegangnya. Merenggangkan otot-otot leher dan jari-jari tangannya, bersiap untuk memberi pelajaran yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan temannya itu. Bisa-bisanya Angga mengatakan bahwa dia sedang membicarakan cewek itu tanpa tahu kebenarannya.

"Biarin, anak manusia bebas. Kecuali lo, titisan dajal," kata Lea yang paham bahwa Angga sedang mengkambing-hitamkannya dengan Milo.

"Gue," Angga menunjuk dirinya sendiri, lalu mengibaskan rambutnya yang sedikit panjang. "Titisan dajal? Haha gak mungkin, gue kan ganteng pakai banget."

"Iya-iya ganteng..." perkataan Lea terhenti sejenak, "kalau dilihat dari lubang sedotan."

"Wah, parah menghina." Angga menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak. "Sayangku Bulan, kakandamu ini dihina secara langsung."

"Banyak dra-" Lea tidak melanjutkan perkataannya karena tiba-tiba saja ada yang menyiramnya mengunakan air teh. Terlihat Lea memejamkan mata sebelum mendongkakkan kepala dan melihat siapa pelakunya.

...

Lea tidak tahu dan tidak mengerti mengapa cewek-cewek di sekolah sangat iri dengan kehidupannya. Padahal dia tidak pernah mengganggu bahkan mengusik mereka. Lea mengakui jika dia sering berulah, memukul orang pun sering dilakukan, tetapi dia melakukan semua itu tanpa alasan yang jelas.

"Mau lo apa sih? Gue gak pernah ada urusan sama lo. Gue gak pernah cari ribut. Gak cukup kemarin lo perlakuin gue kayak gitu. Apa perlu gue laporin masalah ini ke pihak berwajib?"

"Oh ya, gue gak takut tuh. Yang gue lakuin sekarang adalah solusi terbaik." Devina menantang.

"Solusi lo bilang, dengan cara kekerasan? Mental lo terganggu tuh," kata Lea.

"Gue udah peringati lo berulang kali untuk jauhi pacar gue. Tapi kenapa lo masih aja ganggu dia. Maklum sih ya cabe kan gitu, sana-sini mau. Oh sekarang julukannya bukan cabe lagi, tapi jablay," kata Devina.

"Ini nih salah satu spesies kakak kelas yang gak tau diri. Kak, mba, nek, tante, dengar baik-baik pasang tuh kuping. Pikirkan setiap perkataan gue kali ini, jangan mikirin dandanan lo doang. Lea sama sekali gak pernah gangguin cowok lo. Selama ini lo gak tau kan siapa yang terus dekati Lea. Mohon-mohon untuk nerima cintanya padahal posisi saat itu lo masih berstatus pacarnya. Seharusnya lo cermati kata-kata Lea kemarin, orang ketiga dalam hubungan tidak selalu salah. Lo harusnya bersyukur karena dijauhi cowok modelan Ivan," kata Bulan.

"Alah, tipu-tipu muslihat," kata Devina.

"Lo gak percaya tante?" tanya Anatasha.

"Mau percaya gimana, lo sama aja kayak mereka. Tukang ngibul." Devina menujuk dua orang yang ada di sebelah Anatasha. "Dan gue denger, lo juga pelakor kan? Di hubungan siapa ya? Duh gue lupa nama orangnya."

Rasanya Lea ingin mencabik-cabik wajah kakak kelasnya ini. Lea tidak mempedulikan jika Devina menghinanya, tapi tidak untuk teman-temannya.

"Okay kalau lo maunya seperti itu, kita bakal buktiin disini, siapa yang salah dan benar." Bulan menyilangkan tangannya di dada. "Guys, gue mau nanya serius sama kalian. Orang yang awal mendekati Lea siapa? Ada yang berani bohong, siap-siap kena imbasnya nanti."

"Si Ivan berengsek," kata siswi.

"Pacarnya Devina," kata siswa.

Lea, Bulan, dan Anatasha tersenyum meremehkan. "See, lo dengarkan semua orang bilang apa. Lain kali sebelum bertindak mikir dulu. Lo bukan aja menghina gue, lo juga main fisik. Lo udah lukai orang yang gak bersalah sama sekali," kata Lea.

Devina mengepalkan tangannya, lalu pergi begitu saja.

Lea menghembuskan nafasnya, menjatuhkan bokongnya pada kursi. "Gila tuh cewek. Bebal banget diomong, jelas-jelas gue gak salah," katanya.

"Lo gak apa-apa, Le?" tanya Anatasha yang memberikan tisu.

"Santai aja, udah biasa," jawab Lea.

"Minum nih," kata Bulan menyodorkan teh botol.

Lea tertawa melihat kelakuan teman-temannya. "Kalian berlebihan tau gak sih, gue baik-baik aja. Kan ada budak-budak gue yang jagain," katanya.

"Budak? Kita gitu?" kata Anatasha.

"Iyalah, siapa lagi memangnya," kata Lea.

Arranged Marriage With My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang