#Chapter 21

22.3K 557 3
                                    

Happy Reading

Lea berjalan menyusuri koridor di sekolahnya dengan senyum yang merekah, karena hari ini begitu spesial baginya. Dimana gadis itu akan memamerkan gaya serta warna rambut baru pada dua temannya.

Tibanya di depan kelas, bersiap untuk masuk, tanpa disangka-sangka seseorang menarik rambutnya. Bukan hanya itu saja, orang itu mendorong tubuhnya hingga membentur tembok yang keras dan menyakitkan.

Kejadian ini terjadi bukan sekali dua kali dalam hidupnya, sebelum-sebelumnya baik itu kakak kelas maupun teman seangkatannya melakukan tindakan seperti ini, tapi untuk alasan, dia tidak tahu apakah masih sama atau tidak.

"Apa sih yang membuat cewek kayak lo disukai cowok-cowok di sekolah ini?" cewek yang dihadapannya itu melihat dari ujung kepala sampai kaki. "Secara fisik gue lebih menang. Soal kepintaran ... haha. Lo aja gak tau perkalian delapan," lanjutnya.

Diam. Lea tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan matanya menatap tajam cewek itu yang sudah berani melakukan tindakan kekerasan di area sekolah yang notabennya banyak siswa-siswi berkeliaran kesana kemari.

"Jangan mentang-mentang lo cewek yang ditakuti banyak orang, jadi lo bisa berbuat semaunya, termasuk merebut kebahagian orang lain!"

Devina merupakan kakak kelasnya. Sejak awal kedatangannya di SMA Brawijaya School, cewek itu selalu menatap benci saat berpapasan. Setelah mendengar seluruh perkataan yang terlontar dari bibir Devina, membuat dia menyimpulkan sesuatu.

"Hah, gue gak salah denger ya?" Lea memajukan telinganya, lalu tersenyum meremehkan. "Asal lo tau, gue gak pernah merebut kebahagian orang lain demi kebahagiaan gue sendiri."

Lea menolehkan wajahnya ke samping ketika Devina berhasil menampar pipi sebelah kanannya dengan keras, bahkan suaranya sampai terdengar sehingga siswa-siswi keluar dari sarang persembunyian.

"Lo udah gila, hah! Setelah lo jambak gue, dorong gue, apa gak cukup!" kata Lea dengan tangan terkepal dengan nafas membara menahan emosi yang sudah memuncak.

"Lo itu cuma adik kelas yang gak tau diri, tapi gaya lo udah selangit. Sok berkuasa di sekolah ini, padahal lo bukan siapa-siapa!"

Lea berdecih. "Terus urusannya sama lo apa?"

"Jelas itu urusan gue!" kata Devina.

"Ya-ya-ya, terserah lo deh mau ngomong apa. Gue gak peduli sama sekali."

"Jablay tetap jablay. Pasti dulu mamanya kayak gitu, iya gak guys."

Sudah cukup dia mendengar penghinaan yang dilakukan kakak kelasnya. Dia membalikkan tubuhnya, lalu memukul wajah Devina. "Lo boleh menghina gue, lo boleh perlakuin gue kasar. Tapi enggak dengan orangtua gue. Mereka sama sekali gak ada sangkut pautnya dalam sikap gue ini. Bahkan gue yakin lo lebih hina daripada gue."

"Berani-beraninya ya lo balas ucapan gue!" Devina menggeram kesal dan siap melayangkan tangannya di udara. Namun, sayang pergerakan cewek itu terlalu lambat.

"Terlalu dibutakan dengan cinta sampai-sampai lo melukai orang lain yang tidak bersalah. Lo bego Devina. Iya, secara fisik gue memang kalah. Tapi, pola pikir kita berbeda dan gue lebih unggul daripada lo." Lea menghempaskan tangan kakak kelasnya.

"Denger baik-baik setiap ucapan gue, Devina. Gue sama sekali gak merasa merebut siapapun termasuk cowok lo. Kalau pun iya, gue hanya ingin membuktikan pada semua orang kalau dia bukan cowok yang baik untuk lo. Sebelum bertindak, lo pikirkan baik-baik dampak yang akan didapatkan. Dan ... jangan lupa ngaca."

"Haha, bullshit banget lo! Lagian gue udah cantik untuk apa ngaca!"

"Lo harusnya bersyukur dan berterima kasih, karena gue, lo bisa tau sifat asli Ivan."

Devina menggeram kesal melihat tingkah adik kelasnya. Lagi-lagi dia harus mengeluarkan cara kekerasan untuk meluapkan emosinya. Kali ini, dia tidak boleh kalah. Devina harus membuktikan pada orang banyak kalau Lea bersalah.

Mulai dari Devina yang menjambak rambut Lea, kemudian dibalas dengan tendangan di bagian perut. Semua orang yang melihatnya hanya menutup mulutnya tak percaya bahwa kejadian ini akan semakin runyam.

Perkelahian antara keduanya semakin memanas. Tak ada satupun orang yang berani memisahkan, terkecuali Bobby yang merupakan teman sekelas Lea. Itu pun dia gagal, karena wajahnya kena bogeman keras.

Mereka tahu, Lea tidak akan menghentikan aksinya sebelum musuhnya meminta maaf. Namun, sepertinya permintaan maaf saja tidak akan cukup setelah mendengar penghinaan yang dilakukan Devina.

"Stop!" kata seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Milo.

Devina melirik sekilas orang yang tengah berlari kecil dengan wajah yang khawatir, namun mereka tetap melanjutkan aksi tersebut, tidak mempedulikan orang yang sudah berteriak begitu lantang.

"Lea, stop!" Milo memeluk gadisnya dari belakang hingga perkelahian tersebut bisa diselesaikan dengan mudah.

Lea terdiam dengan nafas yang masih membara. Sementara Angga, cowok itu membantu Devina untuk berdiri, lalu menyuruh temannya untuk mengantarkannya ke ruang UKS agar mendapat penanganan pertama.

"Bubar semuanya!" teriak Bulan. Semua siswa-siswi bersorak tak terima. Namun, perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat tersebut.

"Lo itu cewek, gak seharusnya main kasar! Apalagi itu kakak kelas lo sendiri," kata Milo memegang kedua pundak Lea.

"Lalu gue harus bertindak seperti apa, hah!" Lea melepaskan tangan cowok itu dari pundaknya dengan paksa. "Lo itu gak tau apa-apa masalahnya kayak gimana, jadi lo diam aja. Gue gak butuh belas kasihan lo!"

Milo melihat sudut bibir gadis itu mengeluarkan darah dan parahnya dua kancing bagian atas seragamnya terlepas hingga memperlihatkan kulit putih mulusnya. Buru-buru dia memeluk Lea, lalu membawanya ke UKS.

Tibanya di ruangan yang bernuansa bau obat-obatan, perlahan Milo membaringkan tubuh gadisnya di brankar. Kemudian berjalan keluar untuk menghubungi Angga agar membawa pakaian miliknya di tas ransel.

Milo masuk kembali dan membawa kotak P3K. "Lo itu seharusnya sadar dengan perbuatan lo tadi, bisa aja pihak sekolah mempermasalahkannya." Cowok itu duduk di samping Lea dan meraih lututnya yang berdarah.

"Ah, sakit, Mil."

"Udah tau sakit kenapa masih berantem. Dan ini..." Milo mengambil selimut untuk menutup dada gadis itu. "Cowok-cowok mata keranjang bisa aja manfaatin ketidaksadaran lo itu."

"Ih sakit, bisa pelan-pelan gak sih!" kata Lea dengan sewotnya.

"Makannya jadi cewek sedikit anggun kenapa," balas Milo.

Suara decit pintu terdengar menampilkan seorang pria yang membawa baju milik Milo, lalu pergi begitu saja. "Ganti," kata Milo.

"Punya siapa?" tanya Lea.

"Orang," jawab Milo.

"Gak mau!"

"Pakai, Lea!"

"Gak mau, Milo!"

"Pakai, emangnya lo mau jadi pusat perhatian orang. Lagian ini baju baru gue pakai dua jam lalu, masih bersih lah," kata Milo.

"Bukan baru namanya, udah lama itu. Tapi gak apa-apa deh," kata Lea.

"Diam disitu!" Lea mengancam Milo karena dia ingin mengganti pakaiannya.

"Gue tutup mata ya," kata Milo. Lea berdeham.

Arranged Marriage With My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang