BAGIAN 17: Akhir Cerita Cinta

Start bij het begin
                                    

Fano terdiam membuat Reina tau tentang apa yang cowok itu rasakan. Hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulut Reina. Sepertinya dia memang harus mengakhiri semua ini.

"Gue minta maaf Fan karena selama ini terlalu banyak nyakitin perasaan lo. Gue terlalu bodoh sampe nggak bisa tegas sama diri sendiri. Gue sayang sama Papa dan gue juga nggak bisa nolak kemauan Papa, sampe keputusan yang gue pilih justru bikin lo tersakiti. Gue sadar udah banyak bikin lo sakit hati, tapi kenapa lo masih mau bertahan sama gue Fan?" ujar Reina suaranya terdengar bergetar. Perlahan ano menyimpan gitarnya di lantai. Dia lalu menyerongkan posisi duduknya agar berhadapan dengan Reina. Tangannya bergerak menggenggam erat tangan Reina.

"Denger," ujar Fano menatap mata Reina dalam. "Gue nggak peduli seberapa banyak lo sakitin perasaan gue, gue udah terlanjur sayang sama lo Rein. Lagian rasa sakit ini bukan lo yang ciptain, Karena gue tahu kalo lo sendiri pun nggak mau dengan keadaan kaya gini kan?"

Mendengar itu dada Reina terasa sesak. Kenapa Fano harus bersikap seperti ini?. Reina menarik tangannya dari Fano, dia lantas mengalihkan atensinya ke arah lain, tak ingin bertatapan dengan Fano yang hanya akan membuatnya semakin lemah.

"Lo nggak bisa kaya gini, Fan. Lo boleh sayang sama gue, tapi mestinya lo lebih sayang sama diri lo sendiri. Gue nggak mau bikin lo tambah lebih sakit hati. Gue mau kita usai sampai di sini," ujar Reina dengan kepala tertunduk ke bawah.

Di sisi lain penuturan Reina barusan sanggup membuat jantung Fano copot dari tempatnya. Apa maksudnya ini? kenapa Reina dengan mudahnya berkata seperti itu setelah apa yang telah mereka lalui bersama selama ini?

"Maksudnya?" Fano menatap Reina dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Perjuangan kita buat mempertahanin hubungan ini cukup sampai di sini Fan," ujar Reina lebih jelas.

"Kenapa?" tanya Fano, napasnya mulai memburu.

"Kita nggak bisa nentang takdir Tuhan, Fan. Mau sejauh apa lagi kita pertahanin hubungan ini kalau ujung-ujungnya kita tetep nggak akan bisa bersama?"

Reina menghembuskan napasnya lelah. "Kita ini beda, Fan. Papa juga nggak akan ngerestuin hubungan kita. Jangankan Papa, Tuhan aku dan kamu pun, sama-sama nggak akan merestui hubungan ini," ujar Reina dengan suara bergetarnya.

"Tapi Rein pasti masih ada jalan, kalo mau gue bisa pindah ke agama lo," ujar Fano.

Reina menggelengkan kepalanya. "Gue dukung lo untuk masuk Islam, tapi jika alasannya murni karena lo percaya sama Allah, bukan buat merjuangin cinta mahluknya. Gue nggak akan pernah setuju kalau lo mau masuk Islam demi gue."

Fano mengacak rambutnya kasar. Dia menundukan kepalanya dalam. Ya itu adalah tantangan tersulit nya.

"Jadi kita akhiri sampe di sini?" tanya Fano parau. Reina memutar bola matanya ke segala arah. Matanya sudah berair sejak tadi, namun sebisa mungkin dia tetap menahannya agar tidak luruh. Reina sebenarnya tidak ingin hal ini terjadi, tapi bagaimana lagi. Takdir sudah menggariskan semuanya.

"Iya, gue rasa itu lebih baik," ujar Reina menatap Fano yang tak merespon ucapannya. Cowok itu masih sama dengan posisinya seperti semula.

"Fan, kita udah putus bukan berarti kita harus jadi musuh. Lo masih tetep bisa lihat gue, kita masih bisa temenan."

"Tapi gue nggak bisa, Rein. Rasanya bakal beda," tutur Fano membuat Reina mati-matian menahan sesak dalam dadanya, sebisa mungkin ia juga menahan air matanya agar tidak luruh.

"Kita bisa Fan. Awalnya mungkin emang sulit, tapi lama-lama kita pasti terbiasa. Lagian kalo kita makin lama kita pacaran, kenangan yang tercipta itu bakalan makin banyak," ujar Reina sedikit terisak. Tidak sanggup lagi menahan, perlahan air mata gadis itu pun terjatuh membasahi pipi.

Fano menatap ke arah Reina, tangannya langsung bergerak membawa Reina ke dalam dekapannya. Reina sendiri tidak menolak, gadis itu menangis terisak dalam pelukan Fano. Perlahan tangan Fano bergerak mengelus punggung Reina. Reina benar, mereka memang tidak akan bisa bersama. Takdir mempertemukan mereka hanya untuk bersama sesaat, bukan untuk selamanya.

"Aku terima keputusan kamu."

* * *

Reina melangkahkan kakinya dengan lesu menuju rumah Alaric. Tadi dia menolak tawaran Fano untuk pulang bersam dengan alasan sudah dijemput Tante Gina, padahal nyatanya tidak. Reina lebih memilih pulang menggunakan angkutan umum, sehingga mengharuskannya berjalan beberapa meter dari gerbang perumahan.

Reina masuk ke dalam rumah. Saat di depan tadi dia sempat melihat mobil Alaric terparkir. Berarti cowok itu ada di sini bukan?

Suasana ruang tamu yang sepi menyambut Reina pertama kali. Rumah Alaric memang besar, tapi setiap hari penghuninya sibuk beraktifitas di luar rumah. Pantas Cika tak mau ditinggal sendiri di rumah, sudah pasti gadis itu merasa sangat kesepian.

Kaki jenjang Reina perlahan menaiki tangga menuju lantai dua. Tangannya bergerak untuk membuka kenop pintu kamar. Namun sebelum itu terjadi pintu kamarnya lebih dulu terbuka dari dalam.

Sosok Alaric terlihat muncul dengan wajah datarnya. Lelaki itu menatap Reina tanpa ada perasaan bersalah karena sudah memasuki kamar orang tanpa izin.

"Kak Al ngapain di kamar aku?"

Alaric mengangkat alisnya sebelah. "Ini kamar saya," katanya dingin. Ya benar juga sih.

Reina memejamkan matanya. Sungguh dia merasa malu. Alaric memang benar ini adalah kamarnya, tapi sekarang kamar ini ditempati Reina, otomatis menjadi kamar Reina kan sebutannya.

"Iya. Tapi kan untuk sekarang kamar ini ditempatin Reina. Kakak nggak boleh masuk ke sini tanpa izin aku dong."

"Saya cuman naroh buku, barangkali kamu butuh," ujar Alaric menunjuk tote bag di atas meja belajar dengan dagunya. Reina ikut meliriknya sekilas klau ber'oh' ria tanpa ingin bertanya lebih jauh.

"Orang-orang pada kemana, Kak?" tanya Reina lagi.

"Bunda keluar ada urusan, kalau Cika lagi les. Habis ini kamu bersih-bersih terus temui saya, kita jemput Cika sekalian cari makan," titah Alaric. Reina menganggukkan kepalanya paham.

"Langsung bersih-bersih, nggak usah dilanjut nangis." Setelah berkata seperti itu Alaric melenggang pergi, meninggalkan Reina yang masih mematung di tempatnya.

Reina diam tak berkutik. Mengapa Alaric bisa tau dirinya habis menangis? Apa jangan-jangan cowok itu titisan cenayang? Reina menggelengkan kepala ketika otaknya sudah berfikir yang aneh-aneh. Dia langsung masuk ke dalam kamar dan menatap pantulan dirinya di cermin. Ternyata mata sembabnya masih terpatri jelas di sana.

- Bersambung -

Story of Reina [SELESAI]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu