Sepuluh. Cinta dan Benci

3.5K 95 7
                                    

"Jika kau yang bertanya seberapa besar kebencian bisa menyakitimu, lihatlah dulu seberapa besar kau mencintai dan menggantung seluruh kebahagiaan padanya.
Maka, sebesar itulah rasa sakit yang akan kau terima.

Karena sejatinya, cinta dan benci itu hanya memiliki perbedaan tipis. Setipis ari yang menjadi pelindung kehidupan bayi dalam kandungan."

______________

Di sebuah ruang kerja dengan gaya arsitektur modern, dua penjaga berpakaian rapi berdiri tegak di balik pintu.
Mengawasi setiap gerak gerik mencurigakan, dan mencegah kegaduhan yang mungkin saja terjadi, sesuai arahan sang boss.

Ruangan yang didominasi warna hitam dengan banyaknya ornamen-oranamen kayu itu tengah kedatangan tamu spesial rupanya.
Seseorang yang begitu berarti bagi si empunya tempat.

"Bagaimana keadaanmu, Lei? Maafkan Om yang baru bisa menemui kamu. Banyak hal yang harus Om kerjakan sepeninggal papa kamu."

"Kabar Leia baik, Om. Terima kasih selama ini sudah sangat baik dan perhatian sama Leia."

Hans tersenyum ramah mengetahui respon positif yang ditunjukkan Leia.
"Kamu sudah dewasa sekarang. Semakin cantik. Persis mama kamu."

Gadis itu balas senyum, "Terima kasih, Om."
Sebenarnya, ada perasaan kurang nyaman setiap kali bercakap-cakap dengan Hans.
Hanya saja, mengingat jasa dan betapa dekatnya orang yang dia panggil om itu terhadap keluarganya, membuat Leia segan bila harus berlaku tidak sopan pada Hans.

"Oiya, bagaimana dengan pendidikanmu? Om dengar kamu masih belum melanjutkan kuliah semenjak menikah dengan Aryan, betul?"

Leia sedikit mendongak ketika Hans menyebutkan kata 'kuliah'. Tidak menyangka bahwa masalah yang bertubi ia hadapi, mampu menghapuskan ingatan tentang impiannya.
"Leia belum tahu, Om. Mungkin nanti bisa didiskusiin sama Mas Aryan."

"Mas?"
Hans mengubah posisi duduk. Terlihat sekali bahwa pria paruh baya itu tidak nyaman dengan panggilan Leia pada mantan supir itu.

Dan entah mendapat keyakinan dari mana, begitu mantap Leia menjelaskan.
"Iya, Om. Karena sekarang status Leia adalah istrinya Mas Aryan, jadi Leia harus patuh pada apapun keputusan Mas Aryan selama itu masih dalam konteks kebaikan."

Kebaikan?

Lagi lagi kalimat yang keluar dari bibir mungil Leia membuat Hans menggeleng.

"Leia, kamu ... Tidak apa-apa, kan?"

"Alhamdulillah Leia baik, Om."

Hans semakin tidak nyaman, terlihat jelas bagaimana ia tidak bisa diam dan terus saja mengubah posisi duduknya.
"Lalu bagaimana dengan Ben, Lei? Hubungan kalian baik, kan?"

Gadis itu tersenyum, "Kami baik, Om. Kak Ben selalu baik sama Leia. Jadi nggak ada alasan buat Leia nggak menyukai Kak Ben."

Ah, syukurlah.
Setidaknya masih ada satu poin positif antara hubungan Leia dengan Ben.
Begitu pikir Hans, sembari mengembuskan napas lega.

Di kepalanya kini dipenuhi rencana yang harus segera ia lakukan sebelum Leia benar benar dekat dan jatuh ke pelukan Aryan.

***

Meski tanpa disadari, hubungan pernikahan ternyata mampu mengikat hati dua sejoli. Meski itu sebuah pernikahan yang tak pernah diharapkan.
Mungkin begitu yang tengah dialami Aryan saat ini. Sangat tidak nyaman meninggalkan Leia bersama dengan Hans yang bahkan tak segan untuk menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya.
Terlebih dengan adanya surat misterius yang mengancam keselamatan Leia, membuat Aryan harus ekstra ketat dan memastikan sang istri selalu dalam jangkauan pandangnya.

(Bukan) Kekasih PilihanWhere stories live. Discover now