Satu. Malam Pertama Leia

8.1K 181 2
                                    

~Dingin dan Sepi.
Adalah malam, yang tanpa belas kasih datang dan menenggelamkan mentari~

Kaleia Tjahyadi.

Salah satu lulusan terbaik dari sekolah bonavid di Jakarta. Pernah menjuarai lomba cipta puisi tingkat provinsi.
Sering tampil sebagai pemeran utama dalam drama sekolah.
Seni lakon dan musik, adalah separuh jiwanya.

Bugg!!

Aryan menutup album bersampul perpaduan antara marun dan hitam, berisikan perjalanan hidup Leia yang diabadikan dalam potret yang rupawan, begitu gadis yang sedari tadi ia tunggu kini berdiri di ambang pintu.

"Tidak sopan masuk ke dalam kamar orang tanpa izin!" Sentak Leia.
"Kamarmu adalah kamarku, Lei. Ini kamar kita."
"Jangan bersikap seolah ini adalah pernikahan yang normal. Karena sedari awal, pernikahan ini telah cacat bahkan sebelum kamu menjabat tangan Papa saya!"

Aryan bangkit dari kursi. Berjalan sambil memandang wajah Leia yang entah kenapa terlihat jauh lebih cantik dari biasa. Ada sesuatu dari dalam dirinya yang begitu menggebu, membuat degup jantungnya berdetak tak beraturan tiap kali menatap mata Leia.

Bukan tidak merasa diperhatikan sedemikan rupa oleh lelaki di hadapan, hanya saja Leia berusaha untuk tetap tenang dan tidak terlihat gugup. Harga dirinya terlalu mahal untuk dikalahkan oleh seorang supir.
Meski di balik ketenangan yang ia tampakkan, jantung Leia berdetak tak kalah kacaunya dari yang Aryan rasakan.

"Lei, percaya sama aku. Aku suamimu. Aku seharusnya jadi satu-satunya tempat buat kamu bersandar, Lei." Aryan menepuk-nepuk dada. Kentara sekali kekecewaannya begitu besar terhadap Leia.

"Hmm,.. Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu mau, Yan? Kamu mau hartaku, kan? Murahan sekali jebakanmu!! Menikahiku, lalu kamu mendapatkan semua kekayaanku,"
Leia berhenti sejenak, seakan mengingat sesuatu. "Oo... Jangan-jangan kamu penyebab meninggalnya Papa saya! Ngaku!"

"Astaghifirullah, Lei, Istigfar! Aku nggak mungkin berbuat senekad itu sama Bapak."

Senyuman kecut terulas di wajah cantik Leia.
"Bapak, bapak,... Bapak apa, Yan! Kamu penghianatnya! Di rumah ini, cuma kamu orang asing yang bebas keluar masuk sembarangan! Aku benci kamu, Yan! Benci!"
Tangis Leia pecah.
Mau bagaimanapun ia berusaha tegar, Leia tetaplah wanita yang rapuh dalam kesendiriannya.

"Lei, tenang. Aku menunggumu di sini karena mau bicara baik baik sama kamu, Lei. Tahan emosimu."

Melihat gelagat Aryan yang ingin menyentuhnya, Leia sigap menghindar.
"Jangan dekat-dekat!"

"Lei."
Panggilan Aryan tidak ada artinya.
Kebencian Leia terlalu besar. Teramat besar hingga tak ada satu katapun dari mulut Aryan yang dapat Leia percaya.

Menjadikan sakit yang bercokol di hati Aryan kian menganga.
Sehina itukah ia di mata Leia?

Tangan lentik dengan cincin berbentuk hati yang melingkar di jari manisnya itu meraba raba mencari gagang pintu. Kewarasannya mendesak agar ia segera pergi dari Aryan sekarang juga.
Sayangnya, justru Aryan lah yang lebih dulu menutup pintu, menarik kunci, dan membuangnya ke sembarang arah.

"Aryan!!!"
Panik, Leia berteriak seraya memukul dada pria di hadapannya.

"Kenapa, Lei? Aku cuma pengen ngobrol sama kamu."
Aryan melepas dua kancing teratas. Memakai kemeja membuatnya semakin gerah.

"Apa para tamu sudah pulang semua? Ah, maaf aku masuk sebelum acara tahlilan Bapak berakhir. Kepalaku mendadak terasa berat."
Seperti bukan pria yang Leia kenal, Aryan yang tengah berdiri persis di depannya kini seoah telah menjadi sosok yang berbeda. Sama sekali tak memiliki sopan santun dalam berbicara kepadanya.

"Tidak usah sok peduli dengan keluargaku! Muak liat kamu bersandiwara seperti ini, Yan! Kamu cuma supir di sini, jangan berharap lebih!" Napasnya menggebu. Begitu emosi hingga Leia rasa butuh ketenangan.
Diraihnya gelas berisi air putih di atas meja. Tak butuh waktu lama, cairan bening itu tandas tak bersisa.
Tak menyadari ada campuran dalam gelas.

Aryan tersenyum, memandangi gadisnya yang mulai terperangkap dalam jebakannya.
Air putih itu sebenarnya opsi kedua. Terpaksa akan ia gunakan jika Leia terus bersikap emosional dan melakukan pemberontakan.
Tapi ternyata, mangsa sendiri yang menghampiri jeratan sang pemburu.

"Kaleia, ternyata kamu nggak sepintar yang aku bayangin."

"Apa maksud kamu!" Alarm tanda bahaya terus menggema dalam otak sederhana Leia, agar gadis itu lebih waspada menghadapi pria yang kini ada di hadapannya.

"Ayo mendekat, jangan jauh-jauh seolah kita ini musuh." Ayolah, pria itu sebenarnya tidak perlu banyak bicara. Tinggal menghitung waktu saja, maka Leia akan jatuh dalam dekapannya.
Hanya saja, Aryan rasa akan lebih mengesankan jika ia sedikit berbasa basi sebelum aksi gilanya terlaksana.

Leia mendesah. Ada desiran aneh dalam tubuhnya. Bulir-bulir keringat mengalir di pelipis. Seluruh tubuh terasa panas. Ada bagian dari dalam dirinya yang mendamba belaian Aryan.
Entah sejak kapan, scraft bermotif bunga yang sedari tadi melekat di kepala Leia kini telah teronggok tak beraturan.
Wajahnya begitu kacau dengan tatapan yang sulit diartikan.

Tak tega dengan kondisi Leia yang semakin menggila, ditariknya kedua tangan Leia dan dijatuhkan ke atas ranjang.
Jangan lupa matikan lampu kamar agar semua berjalan sempurna. Seperti yang dia bayangkan.

Kegelisahan semakin melanda seiring Aryan yang terus mendiamkannya.

"Ar-yan... Tt-tolong." Entah siapa yang bisa menolongnya kini. Hati dan tubuhnya saja berkhianat.

"Iya, Lei. Sabar sebentar, yah."

"Papa." Suaranya parau. Gadis malang itu benar-benar kehilangan kendali atas dirinya.

Dalam pencahayaan yang terbatas, kian rupawan saja paras Leia. Apalagi bibir merah itu terus saja bergerak-gerak, mengundang kumbang untuk segera menyecap manis madunya.

Wajahnya begitu polos. Suci layaknya anak kecil yang butuh penjagaan.

Penjagaan?

Jarak yang tak lebih dari lima inchi itu kini mengendur. Aryan berpaling. Ada sisi dari dirinya yang memberontak. Ini tidak benar!

"Yan..."
Dalam kesekaratannya, Leia memeluk pinggang Aryan. Tak membiarkan pria itu pergi begitu saja setelah apa yang dilakukan padanya.
Kedua wajah itu kembali mendekat.

"Tt-to-long aku, Yan." Bahkan kini, rangkulan Leia semakin mengerat.

Tidak ada pergerakan setelah itu. Desau angin yang sedari tadi memainkan tirai pun, seakan tak berani mengganggu keheningan yang terjadi.

Dilihatnya kembali kedua mata Leia yang terpejam. Ada genang air mata di sana.
Dan seakan air mata itu bagai embun pagi yang menetes tepat di puncak kepala, meyadarkan pria itu akan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Aryan mundur dari posisi begitu kesadarannya berangsur kembali.

Memori pagi tadi kembali terputar.
Bagaimana pak Tjandra mempercayainya menjaga sang putri semata wayang. Kepercayaan beliau terhadapnya begitu besar, hingga dalam napas terakhirnya, pak Tjandra memiih untuk menitipkan Leia padanya. Menjadi suaminya, sebagai penjaganya.

Menjaga, bukan merusak impiannya.
Menjaganya, bukan menghancurkan masa depannya.
Menjaga Leia, sebagai seorang istri. Bukan sebagai lacur pemuas napsu belaka.

Kalimat itu terus terngiang membayang-bayang. Membuat kepala Aryan terasa mau pecah.
Rasa sesal memenuhi dada.
Leia wanita yang berharga, ia berhak diperlakukan dengan penghargaan yang tinggi.

"Aargghh!!!"
Frustasi, pria itu memutuskan pergi dari ruangan. Kemanapun, asal tidak di kamar itu bersama Leia.
Dan akhirnya, kamar mandi menjadi satu satunya pilihan bagi Aryan.

***

Happy Reading, Gaeess..

(Bukan) Kekasih PilihanWhere stories live. Discover now