Delapan. Kemunafikkan

3.3K 108 5
                                    

   "Sebagian luka hadir karena kesalahan.
Di sebagian lainnya, luka perlu ada untuk membuktikan keseriusan. Ketulusan. Kepedulian."
____•••____

  Shubuh, saat kirana bahkan belum menyapa langit, Nadhira telah duduk bersimpuh di atas sajadah. Memohon ampun pada Yang Kuasa, tentang perasaan yang tak bisa ia jaga. Rasa bersalah karena memiliki rasa pada Aryan terus saja menggelayuti hati dan pikiran.
Di mata Nadhira, Aryan adalah gambaran sosok sang Ayah di masa muda. Seperti yang selalu Bunda ceritakan, Ayah itu lelaki Baik, pengertian, selalu semangat, dan juga, penuh kelembutan.

Banyak yang bilang, seorang Ayah adalah cinta pertama bagi putrinya.

Lalu, salahkah Nadhira jika ternyata ia menaruh rasa pada Aryan yang memiliki kelembutan seperti sang ayah?
Salahkah Nadhira, ketika perasaan itu selalu saja tumbuh meski berkali-kali telah ia coba patahkan?

Lamunannya terjeda begitu medengar suara gaduh di ruang tengah.
Terdengar seperti suara orang bercengkramah.

Masih mengenakan mukena, gadis itu berjalan ke lubang kecil di sudut kamar yang terhubung langsung ke ruang tamu. Hendak mencari tahu, tamu siapa yang dini hari begini berkunjung ke rumah.

Matanya membulat, seulas senyum seketika terbit di bibir mungilnya begitu tahu siapa di sana yang bersama ibunya.

Buru-buru Nadhira berjalan ke sumber suara. Ingin sekali menyambut dan memberikan pelukan hangat.
Sayangnya, langkah kakinya terhenti saat tak sengaja indera pendengarnya mendengar percakapan mereka.
Percakapan yang takut ia ketahui sampai akhir. Takut tentang kebenaran yang akan ia dengar.

Sebenarnya, ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan di kepala yang mendesak ingin mengetahui jawaban.
Tapi rasanya tidak sopan terlalu banyak bertanya saat sang ayah bahkan baru saja pulang ke rumah setelah sekian lama.

Pada akhirnya, gadis itu memilih untuk mundur. Menenangkan diri di kamar, dan mencerna dengan baik apa yang baru saja ia dengar.

Takut Leia marah dan membenci ayah?

Gadis itu menggeleng. Menyerah dengan segala asumsinya yang tak menemukan titik temu.

***

"Tolong, Pak. Kabari saya jika Bapak sudah mendapatkan petunjuk." Pria dengan topi hitam itu nampak serius menatap sang lawan bicara.

"Anda tenang saja. Akan saya lakukan semampu saya untuk menyelidiki kasus ini." Pria gagah yang tampil rapi dengan atasan cokelat dan celana hitam itu mengangguk mantap sambil membolak balik berkas di tangan.

"Baik, Pak. Terima kasih atas bantuannya. Kalau begitu, saya permisi."
Aryan bangkit, mengulurkan dan berjabat tangan dengan anggota polisi berpangkat tiga, "Sekali lagi, terima kasih, Pak."

Tak lama setelah Aryan berlalu, Polisi berpostur tegap dengan perut sedikit membuncit itu mengeluarkan ponsel dari saku celana.

Pria itu segera bersuara setelah nada sambung di ponsel berganti dengan suara seseorang yang ia hubungi.

"Halo?"

"Ada seorang pemuda yang berusaha mencari tahu penyebab kematian Tjandra. Menurutmu bagaimana? Harus aku apakan anak ini?"

"Siapa  dia?"

"Aryan Nugraha. Dia sudah mengirim laporan ke kantor polisi. Berkasnya ada di tanganku sekarang."

Seseorang di seberang sana diam sesaat untuk menimang.

"Oke. Kita tidak boleh gegabah. Dia bukan siapa-siapa sebenarnya, hanya seorang supir yang tertimpa durian runtuh. "

(Bukan) Kekasih PilihanDove le storie prendono vita. Scoprilo ora