Part 46

2K 209 16
                                    

Hari pertama setelah Ken pergi, Ryan mengumpulkan kami bertiga. Aku sudah mengira sih, ini bakalan ngomongin keputusan kami tentang Chapter One. Dan aku nggak tahu harus gimana.

Kalian pasti mengerti perasaanku, kan. Di satu sisi aku udah jatuh cinta pada Ken, dan jelas aku ingin nerusin Chapter One sebagai amanah darinya. Dan iya sih, aku berharap Ken kembali. Aku pengin Chapter One masih ada kalau dia datang lagi.

Tapi di sisi lain, aku juga pengin kerja di tempat yang lebih bagus penawarannya. Kalian tahu gimana rasanya pergi ke tempat yang penuh kenangan sama orang yang kita suka? Apalagi kalau berpisahnya kayak aku dan Ken. Serba nggak pasti, tapi terlalu manis juga untuk diabaikan.

"Satu bulan percobaan. Apa nggak terlalu singkat?" tanya Arwen dengan alis terangkat tinggi.

"Satu bulan cukup untuk kita tahu apa masih senang kerja di sini tanpa campur tangan Ken, atau enggak."

Arwen manggut-manggut.

Jadi begini. Baiknya aku jelasin aja dengan singkat supaya kalian nggak bingung.

Ken memberikan kuasa pada Ryan untuk memutuskan nasib rumah Cipaganti dan Cimahi. Ryan memutuskan menjual rumah Cimahi dan hasilnya dibagi empat. Ken sudah setuju. Itu pun dengan keberatan Arwen, tapi karena dua lawan satu, dia mengalah. Aku abstain, merasa nggak punya hak suara di sini. Well, aku bukan siapa-siapa juga. Ken dan Ryan bersepupu, Ken dan Arwen teman dekat sejak sekolah dan Arwen mengenal keluarga Ken dengan baik. Aku cuma orang yang baru masuk dalam lingkaran pertemanan mereka dua tahun yang lalu.

Sekarang, nasib Chapter One-lah yang mau ditentukan.

"Lis, lu masih ingin mengurusi ini?" Arwen menatapku sedikit tajam.

Aku nggak tahu harus jawab apa. Seperti yang udah kujelasin tadi, ini berat buatku.

"Realistis aja, Lis. Coba buang semua urusan pribadi. Kita berpikir professional dulu sebentar." Bujuk Ryan.

Aku menatapnya curiga. Apa maksudnya dengan urusan pribadi, ya? Apa dia tahu tentang aku dan Ken?

Ryan membalas tatapanku dengan lembut.

"Kalau secara professional tentu gue pengin dapat kerja yang lebih bagus."

Ryan mengangguk. "Gue sendiri lebih senang ke Bali, sih. Lu, Wen?"

"Kalaupun cuma gue aja yang nerusin ini, gue terima. Nggak tega rasanya, rumah masa kecil Ken dijual."

Aku teringat rumah Ken di belakang.

"Iya, jangan dijual. Sayang."

Aku dan Arwen saling bertatapan dengan penuh arti. Ryan memandangi kami bergantian.

"Ada sesuatu yang gue nggak tahu di sini?"

Dalam hal itu aku heran juga sih. Gimana bisa, Ken nggak kasih tahu sepupunya sendiri tentang rumah itu? Apa alasannya? Kalau mau kasih kuasa begini kan seharusnya dia terbuka tentang semuanya.

"Lu tanya gih sama Ken."

"Ya sudah. Jadi, fix ya kita tetap buka sebulan ini dan silakan kalau mau apply new job. Ken membebaskan kita mengambil keputusan apapun, jadi jangan jadi beban, oke?"

Arwen langsung berdiri dan meninggalkan meja. Aku mendorong mundur kursiku, tapi tangan Ryan menangkap tanganku. Kupandangi dia dengan heran.

"Kamu kenapa?" tanyanya pelan.

Aku menggeleng. Mana mungkin aku cerita ke dia tentang Ken? Sementara aku punya perasaan, dia menyukaiku.

"Lissa, jangan nutup-nutupi. Aku tahu kok."

Bilang Aja Napa [Completed]Where stories live. Discover now