Part 24

2.2K 262 8
                                    

Honda City Ken sudah terparkir di carport samping waktu aku dan Ryan pulang. Aku cepat-cepat melirik jam, khawatir sudah lewat pukul satu. Tapi belum. Lima menit lagi, ternyata. Kami nggak korupsi jam kerja.

"Takut ya?" tanya Ryan waktu melihatku menatap jam. Aku mengangguk.

"Galak soalnya." Kutunjuk jendela ruang kerja Ken yang terlihat dari halaman luas itu.

Ryan terkekeh, menunjukkan gigi putihnya yang berbaris rapi dan rata. Pantas banget jadi iklan pasta gigi.

"Nggak, dia nggak galak. Hanya belum tahu gimana menghadapi karyawan sepertimu."

Kami jalan bersisian. Sekali, lengan kiri Ryan menyentuh pundak kananku yang lebih pendek darinya. Ada wangi musk lembut menguar dari tubuhnya. Berbeda dengan wangi parfum Ken yang beraroma air laut.

"Memangnya gue karyawan kayak apa sih..." 

Sedih banget rasanya, seolah aku ini orang yang bebal dan suka melawan atasan.

Ken membalik papan tanda biru itu. Sekarang tulisannya 'OPEN'.

"Karyawan yang bukan keluarga." Dia tersenyum lebar. 

Aku balas senyumannya tanpa semangat. Pikiranku sedang pada Ken. Dia pasti sudah di ruang kerjanya. Aku masuk saja sekarang.

Kakiku sudah melangkah menuju ruang di belakang bar, ruang kerja Ken, waktu aku sadar sesuatu.

Wait.

"Memangnya Arwen juga keluarga?"

Aku ganti arah mendekati Ryan yang sudah menuju bar. Dia nggak berhenti. Jalannya tetap santai. Tangannya di dalam saku. Dengan cepat aku sudah jalan di sebelahnya.

"Ry! Arwen juga keluarga?"

Bibir Ryan menyunggingkan senyum tipis, tapi cepat hilang. Sekarang dia menaruh telunjuk di depan mulutnya.

"Sst ... kalau soal Arwen, kamu harus tanya sama Arwen sendiri."

Lalu dia menyentuh pipiku, sekilas aja sih, tapi rasanya seperti lebih dari satu menit. Pipi yang tersentuh punggung jarinya itu seperti tersengat lebah. Jantungku jumpalitan.

Ryan menarik kursi bar lalu duduk. Sama sekali dia nggak menoleh lagi, tapi bibirnya senyum-senyum. Sengaja banget ya bikin aku penasaran tentang hubungan Arwen dan Ken.

Kutinggalkan Ryan sambil sengaja mengentak-entak kaki. Dia cuma ketawa kecil. Sialan.

Kamar kerja Ken nggak tertutup. Aku ketuk pelan pintunya sambil melongokkan kepala. Kembali jantungku jumpalitan untuk alasan yang berbeda. Kali ini, aku merasa takut.

Dia menyuruhku masuk tanpa kata, hanya dengan anggukan kepala. Tanpa basa-basi, kujelaskan soal hak milik rumah di Cimahi yang masih atas nama ibu Ken. Data itu kudapat dari Astina yang sudah meminta foto sertifikat tanah kepada Ibu Ratih.

"Really?"

Ken menatapku penuh minat. Betul kata Astina, bule ini nggak tahu soal izin properti di Indonesia.

"Ya. Saya dan teman sudah cari tahu. Kamu itu ahli waris karena pernikahan, rumah ibumu  otomatis jadi milik kamu. Ibu Ratih mengira kamu tidak paham soal warisan pernikahan campuran. Dia mungkin berniat buruk."

Untuk sekejap, ada kilat kemarahan di matanya. Dia menggigit bibir sambil kepalanya mengangguk-angguk lamat. Lalu dia  mengusap muka sampai ke dagu, menatapku lagi sambil menangkup kedua tangan di depan muka.

"Memang saya tidak paham, Lissa. That's why saya mau minta tolong kamu dua malam lalu. Tapi kamu menolak sebelum tahu permintaan saya, iya?"

Ap-apa? Dia cuma mau minta tolong menjelaskan ini? Ya ampun... dan aku sudah berpikir buruk kalau dia mau kasih tugas yang susah-susah lagi!

"Kenapa kamu nggak bilang?" tanyaku setengah menyesal setengah kesal.

"Sudahlah. Saya juga minta maaf membuat kamu lembu."

Pengin ngakak tapi nanti dia sensi.

"Lembur. R. R. Jangan lupa ada huruf R-nya."

"Lembur?" Dia menaikkan alis. "Saya ingat ada kata 'lembu' juga ya?"

Duh. Apa kita mau buka kursus bahasa Indonesia aja, Ken?

"Lembur. 'Overtime' in Indonesian language. Just say 'overtime' and I get it. Tidak perlu bilang lembur." Aku berusaha sabar-sabarin diri menjelaskan ini.

"OK." Dia manggut-manggut. "Dan kamu, kemarin kamu ke mana saja? Saya mencari kamu."

Hah?

"Kamu bilang saya nggak perlu masuk?" Jangan berani bilang lu lupa, Bang Bule!"

Dia kelihatan linglung. Matanya nggak berkedip, sorotnya kayak nggak percaya sama jawabanku barusan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Gusti ... dia galak, dan pelupa!

Tapi, berarti... aku nggak akan diberhentikan juga dong?

EUREKA!

"Lissa?"

"Ya Ken?" Aku gelagapan. 

"Bisa temani saya ya?"

Bola matanya kelihatan bulat banget. Raut mukanya memohon.

Baik. Baik. Jangan ulangi kesalahan kemarin. Belum tentu permintaannya susah. Siapa tahu cuma kepingin diajarin soal aturan-aturan di Indonesia aja.

"Temani apa?" Suaraku semanis madu, ditambah senyum lega karena Ken nggak ada niatan memberhentikanku. Sakit kepala yang aku rasa dari dua hari lalu langsung hilang.

Dia berdiri lalu merapikan baju kausnya secara asal. Diambilnya beberapa berkas yang tertumpuk rapi di atas meja, termasuk kunci mobil. Aku menunggu dengan sabar.

Setelah mejanya bersih dan rapi lagi, dia menatapku dengan semangat. Kali ini ada senyum tipis di bibirnya. Baru sekarang aku tahu kalau manusia Inggris ini bisa senyum.

"Temani ke Cimahi untuk mengusir Ratih."

***

Ya ampun, sekarang Lissa mau dibawa-bawa ngegusur tantenya.

Ken, Ken. Ribet banget idup lo. Mending balik ke London dah. Kasian itu Lissa bisa dituntut pasal perbuatan tidak menyenangkan, lho!

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang