Part 11

2.5K 282 9
                                    

"Beres! Tinggal satu ruangan lagi! Horeee!" Kukepal kedua tangan dan kuangkat tinggi-tinggi. Ryan tertawa tanpa suara. Dia turun dari tangga lipat, lalu mengempas tubuhnya ke sofa biru panjang di sudut ruang.

"Capek. Rehat dulu ya, Lis."

Aku mengangguk. Sama sih, aku juga pengin baring. Sedari pagi membungkuk di lantai, punggungku rasanya kram.

Ken sedang ke luar sejak jam makan siang. Bisa deh aku rehat sebentar juga. Kuempas juga tubuh ke sofa yang satu lagi, posisinya membentuk huruf L dengan sofa yang ditiduri Ryan. Kupandangi wajah cowok itu. Ryan memakai lengannya sebagai bantal. Kedua kaki saling bertumpu dan disandarkan di atas tumpukan bantal warna-warni. Matanya terpejam.

Baru kali ini aku bisa puas-puas memandangi wajah cowok itu. Sekarang rambutnya tidak seplontos waktu aku baru masuk. Ryan nggak butuh sisir setelah mandi. Model cepak seperti tentara, tapi agak panjang sedikit. Matanya biru, hidungnya pipih dan mancung. Menurutku, Ryan bisa jadi model, kalau dia mau. Badannya termasuk atletis. Kulitnya putih. Bibirnya merah muda. Dia pasti belum kenal rokok.

Ryan dan Arwen. Tiba-tiba aja aku mikirin. Arwen juga cantik. Body foto model. Rambutnya bagus banget, tebal dan sehat. Hidungnya kayak perosotan. Tinggi dan turun dengan halus sampai ke bagian tengah matanya. Beda dengan hidung mancung Ken yang kayak punggungan gunung Tangkupan Perahu terus tiba-tiba anjlok.

Ngomong-ngomong, barusan kulihat Ken masuk ke ruangannya, dari kaca kamar ini. Daripada dia menuduhku korupsi jam kerja, buru-buru aku keluar.

"Hei, come here for a sec."

Tiba-tiba pintu kamar Ken terbuka lagi tepat setelah aku lewat. Aku berbalik dan mengikutinya masuk. Jalannya buru-buru banget ke meja kerja.

Sebelum duduk, dia merapikan tempat alat tulis yang posisinya miring secara reflek. Aku menahan geli. Poirot banget ini orang.

"Have a sit."

Aku menurut. Tanganku terlipat di pangkuan. Dia sama sekali nggak menatapku karena sibuk menulis sesuatu di atas secarik kertas.

"Kamu bisa naik mobil, kan?"

Pertanyaannya benar-benar di luar dugaan. "Bisa, Ken."

"Kamu punya driving licence, kan?"

"Punya."

Lalu dia memberikan kertas di tangannya padaku. "Kamu bisa pergi ke alamat itu dan jalankan tugas untuk saya?"

Kubaca baik-baik alamat yang diberikannya. Daerah Cimahi, jauh banget dari sini. Baru sekali aku ke sana, waktu masih kuliah dulu. Rumah temanku.

"Tugas apa, kira-kira?" Jaga-jaga dong, siapa tahu dia mau menjerumuskan aku yang polos ini. Kayak waktu ngobrol perihal gaji itu. Kan sial.

Tiba-tiba aja badannya condong ke arahku. Kepalanya sedikit tunduk, tapi matanya menatapku lekat. Ada kesan bahwa apapun yang mau dia sampaikan ini rahasia. Dan ada wangi air laut campur melati lagi dari kaus polonya. Segar. Aku jadi suka wangi ini.

"Saya ingin kamu pura-pura mau beli rumah di alamat itu. Tanyakan harganya, dan siapa contact personnya."

Waw. Drama apa lagi nih si bule? Masa mau beli rumah aja, harus lewat orang lain? Padahal kan boleh-boleh aja dia yang tanya, nanti urusan balik nama bisa pakai nama kerabat terdekat kalau memang orang asing nggak boleh memiliki rumah di Indonesia.

Pengin banget tanya, ada uang jasanya nggak. Wajar bukan sih? Soalnya ini bukan job desc-ku. Sama sekali bukan soal buku. Harusnya sih ... ada kompensasi.

Dengar. Aku bukan mata duitan. Tapi karena gajiku nggak naik tahun ini, boleh dong aku berharap dia kasih bonus untuk kerja tambahan? Lembur saja udah nggak dibayar.

"Rumah siapa ini?"

"My mouth's sealed." Tangannya membuat gerakan silang di depan mulut. Hmh... Harus panjang sabar menghadapi orang ini.

"Baik. Kapan saya harus ke sana?"

"Lusa."

"Lusa itu Minggu, siapa tahu kamu lupa."

"Iya, Minggu. Sabtu kamu kerja, bukan?" Dia bersandar ke kursinya, menatapku tanpa dosa lagi.

Kesabaranku sudah hampir nihil. Kalau nggak diajarin, orang ini bisa terus-terus menyuruhku kerja di hari Minggu. "Ken, bisakah kamu hargai hari libur saya?"

Dia mengangkat alis. Ekspresinya murni heran. "Maksud kamu?"

Aku berusaha keras menahan emosi. Dia bossmu, Lissa. Hormati. "Hari Minggu saya libur. Saya nggak bisa terus-terusan harus menuruti kemauan kamu untuk masuk hari Minggu."

"Tapi itu kan bukan kerja?" Matanya membulat, heran luar biasa mendengar kata-kataku. "Itu kan jalan-jalan? Masa kamu mau ke Cimahi ketika harusnya kerja?"

Gusti nu Agung!

Dia sekolah di planet mana ya selama ini?

***

Aw ... Ken kok main detektif-detektifan begini sih? Apa dia benar-benar terobsesi sama Poirot? Dan dungunya itu, dibuat-buat apa asli sih? Menurut kalian gimana?

Harus sabar bangettt Lissa, ngadepin bos yang semena-mena kayak Ken. Doain aja dia cepat-cepat balik ke London ya, biar kamu kerjanya tenang.

Nanti malam saya usahakan publish bagian berikutnya ya. Demi kejar utang nih, hahaha


Luv-luv, evenatka

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang