Part 41

1.9K 251 25
                                    

Begitu kami masuk, ada rasa damai dan tenang yang langsung terasa. Aku sampai mengambil napas dalam-dalam, karena ingin merasakan jiwa tempat ini lebih lama.

Ken menggamitku ke dalam. 

Kafe itu kesannya nyaman banget deh. Mungkin karena interiornya, tapi lebih-lebih sih karena pemandangan sekitar. Kata salah satu pelayan, kafe ini satu lokasi dengan galeri seni. Pantesan aja ada banyak lukisan di dinding kafe, rupanya memang karya yang punya properti, plus karya orang lain.

Ken memilih sebuah meja (kebetulan banget, di sini semua meja kursi berbentuk persegi dan persegi panjang. Kesukaan Ken). Dekat dengan kaca darimana kami bisa melihat ke undakan setengah lingkaran di bawah kami. Kayaknya itu tempat pertunjukan seni tari deh. Mungkin sewaktu-waktu ada pagelaran tari Sunda di sini, mengingat pemiliknya seorang seniman.

"Pesan apa?" tanya Ken mengejutkanku, sambil membaca buku menu. Seorang pelayan berdiri di sebelahnya, siap mencatat.

"Terserah aja Ken. Aku belum pernah ke sini. Pilihkan yang enak."

Akhirnya Ken memesan dua cangkir kopi Selasar yang dia jamin enak, bacon dan kentang, dan sandwich. Rupanya dulu dia sering ke sini, waktu masih SMU. Dan mungkin juga selama di Bandung hampir sebulan ini.

"Bagus ya Ken..." bisikku sambil memicing mata ke kejauhan. Nggak puas-puasnya aku menikmati pemandangan di tempat itu. Rasanya semua panas yang tadi kami rasakan di Gedung Sate, lenyap begitu masuk ke sini. Pelarian yang asyik kalau lagi suntuk – walaupun menunya termasuk mahal untukku.

"Memang. Ada alasan saya memilih tempat ini, kamu tahu."

Aku mengernyit. Jangan bilang dia mau mengucapkan kata-kata perpisahan di sini? Aku bisa nangis terharu. Malu dong dilihat pelayan-pelayan itu nanti. Dikira aku diputusin pacar.

"Mana aku tahu, Ken. Aku kan bukan isi kepalamu."

Dia tersenyum tipis. "Siapa bilang?" katanya santai. Tapi kok aku merasa jawabannya mencurigakan. Mataku memicing menatapnya.

"Siapa bilang apa? Maksud kamu apa, Ken?"

"Tidak ada maksud apa-apa. Sebaiknya kita makan dulu, Lissa."

Dia mengatakan itu tepat saat seorang pelayan menaruh pesanan kami di atas meja.

"Itadakimasu!" seruku dengan semangat.

***

Selepas makan siang, Ken mengajakku mengelilingi kafe. Betulan asyik. Aku sampai punya angan-angan pengin punya rumah kayak begini. Maksudku, pake pohon betulan sebagai bagian dari teras belakang.

Aku jadi ingat rumah Ken. Mungkin, dia terinspirasi dari kafe ini waktu membuat rumah itu. Serba kayu.

"Dulu waktu sekolah, kami pernah ke sini satu kali untuk pelajaran Seni. Lalu malamnya saya cerita dan ajak Dad dan Mom. Dan setelah itu, mereka lebih sering ke sini daripada saya."

Aku ketawa geli. "Kalau bawa kamu sih mengganggu aja, Ken!"

Ken tertawa tanpa suara sambil menunduk. Ya ampun, dia lucu banget kalau kayak begini. Rambutnya jatuh menutupi kening. Kaus abu-abunya mulai basah karena matahari udah lumayan tinggi. Sekarang aku nyesal deh pakai kaus turtle neck hitam. Betulan, gerah. Rasanya pengin ganti baju. Duh.

Sesekali aku mencuri pandang. Ken terus-menerus memandang ke bawah, ke langkahnya sendiri. Jalannya lambat, jadi aku pun ikut lambat-lambat di sebelah dia. Aku rasa dia sedang nostalgia. Mungkin sedang ingat-ingat orangtuanya. Kasihan juga sih.

Kenapa dia tambah cute aja ya. Dan kenapa aku kayak abege yang kencan pertama, deg-degan, salah tingkah, dan ngerasa diri jelek banget sekarang? Minder gitu. Tiba-tiba pengin ngaca buat lihat apa bedakku luntur apa enggak.

"Uhm... saya tidak tahu bagaimana caranya," akhirnya dia bicara.

"Bagaimana cara apa, Ken?"

Dia menggaruk-garuk kepala. "Saya bukan orang yang romantis."

Aduh. Ken mau ngomong apa sebenarnya sih.

"Saya pilih tempat ini karena bagi saya ini kenangan yang bagus. Mereka merayakan wedding anniversary ke tujuh belasnya di sini. Sweet seventeen, tapi untuk pernikahan."

"Pasti bagus ya."

"Hm. Mereka sangat bahagia. Saya sampai berpikir, di sinilah saya akan melamar Arwen. Kamu tahu cara orang barat melamar kekasihnya?"

Aku mengangguk.

"Ya, seperti itu. Saya akan meminta Arwen jadi istri saya. Berlutut dan menyerahkan cincin padanya. Padahal saya masih High School, tapi impian saya sudah sampai ke sana. Saya begitu suka pada Arwen saat itu."

Ada yang sakit di dadaku. Kenapa topik Arwen sekarang bikin aku merasa nggak suka ya? Bikin jengah, gitu.

"Biarpun begitu, dia tidak tahu perasaan saya. Kami makin akrab. Mom menyukainya. Dia sering ke rumah, membaca koleksi Mom. Saya malahan tidak suka membaca buku-buku itu."

Dia berhenti. Aku juga berhenti.

"Kamu tahu rasanya, menyukai seseorang tapi tidak bisa mengatakan?"

Aku mengangguk. Aku juga pernah begitu waktu SMA, jadi tahu rasanya. Cowok gebetanku nggak pernah tahu kalau aku suka dia.

Lalu dia berbalik menghadap aku. Entah kenapa, ada sorot kesedihan di matanya.

"Saya merasakannya lagi sekarang."

Blush!

Aku pasti blushing. Tiba-tiba aja salah tingkah begini.

"Lissa, saya tidak pintar main kata-kata. Tapi karena besok saya akan pergi, saya ingin kamu tahu isi kepala saya."

Isi kepala? Bukan isi hati?

Ken kelihatan serius dan tegang.

"Tadi kamu bilang, kamu tidak tahu apa isi kepala saya, kan?"

Kepalaku mengangguk. Dia meraih tanganku dan mengusapnya dengan jempol pelan-pelan. Sesuatu yang halus merambat dari sana sampai ke jantung yang tiba-tiba berdebar kencang. Aku hampir tahu apa yang mau dia bilang. Masalahnya, aku siap nggak?

"Maafkan kalau ini tidak adil karena besok saya meninggalkan Indonesia. Meninggalkan kamu. Tapi, saya ingin kamu tahu, Lissa. Supaya tidak ada penyesalan di hati saya, seperti dulu waktu saya tiba di London."

Aduh, Ken. Kamu mau ngomong apa? Jantungku udah jumpalitan begini.

Dia menatapku dengan sorot mata sungguh-sungguh.

"Isi kepala saya adalah kamu."

*** 

wkwkwk... gitu banget sih caranya ngungkapin isi hati? Oia, isi hati, Ken. Bukan isi kepala. Kurang romantis ah kamu.

Kasihan Lissa. Lebih jumpalitan sama siapa jantungnya, Lis? Ken atau Ryan?

:D 


Bilang Aja Napa [Completed]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora