Part 31

2K 240 0
                                    

Arwen terus-menerus mendesakku mengatakan apa yang dimaksud Ken, tapi aku bertahan tetap diam.

"Lu punya rencana apa, Lis? Kok Ken bisa tahu?" desaknya suatu siang waktu kami sedang menunggu Ryan membuat desain poster event. Kami berdua duduk berhadapan di salah satu meja, sedang Ryan di antara kami, sibuk dengan laptop. Setengah jam lagi Chapter One akan buka. Sengaja kami makan cepat-cepat supaya sempat mengerjakan poster.

"Lu berisik banget, Wen. Kalau Lissa nggak ingin cerita, harus dihargai."

"Sok bijak lo, Bule Jabrik!" Arwen melempar segumpal kertas kecil pada Ryan. "Kalau Lissa berencana keluar, gue juga mau keluar soalnya."

Aku menatap Arwen, kaget. Kenapa dia juga ingin resign? Kelihatannya dia dan Ken baik-baik aja.

"Lho, terus aku sendiri? Tega." Ryan cemberut sampai jelek sekali kelihatannya.

"Lu kan masih sodaraan. Aman di sini. Gue..." Arwen memutar badan menghadapku. "Lis, lu kenapa mau keluar?"

Jebakan.

"Gue nggak bilang mau keluar, kan?"

Ryan tertawa keras banget. "Lu mau jebak dia ya? Nggak kemakan. Ckckck, kasian." Kepalanya menggeleng pelan.

Arwen mencibir dan melotot.

"Kenapa kalau gue keluar, lu juga keluar, Wen?"

Dia menatapku dengan serius.

"Gue punya perasaan kalau Ken mau menutup Chapter One. Makanya dia bikin event."

"Ah. Gosip!" Ryan tersenyum meledek. "Jangan suka berburuk sangka, Dear."

Panggilan baru. Ryan nggak pernah memanggil Arwen begitu. Apa mereka...

Tiba-tiba aku merasa cemburu.

"Don't dear me." Mata Arwen menyipit tajam.

Ryan tersenyum miring. "Poster lu nih." Katanya padaku, tanpa menggubris protes Arwen. "Suka desainnya?"

Aku dan Arwen serentak berdiri dari bangku dan pindah ke belakang Ryan. Poster yang didesain dengan aplikasi itu bagus. Warna hitam dan kuning mendominasi keseluruhan layoutnya.

"Makasih, Ry. Tinggal gue email ke Ken minta pendapat."

"Nggak usahlah. Dia pasti oke-oke aja. Dia mana peduli begini-begini? Yang penting kita kerjakan apa maunya."

Ryan mengirim desain poster itu ke alamat emailku.

"Oke, guys, pendaftaran dimulai besok. Jangan lupa dekorasi. Dan elu, Ry," Arwen menunduk dan memeluk leher Ryan, "silakan berkreasi dengan ilmu kuliner lu itu. Make something magic." Dijentikkannya jari di depan wajah Ryan.

Entah perasaanku saja, atau memang benar, wajah Ryan merona.

"Dan coba lu cerita soal rumah. Beneran dia ngusir tantenya?" Arwen menoleh padaku.

"Yeah. Lucunya, Tante Ratih nggak melawan. Selama ini dia udah nempatin rumah itu tanpa takut. Kenapa begitu Ken datang, dia nurut kayak kucing digertak?"

"Efek kaget karena Ken ternyata sudah di sini, dan ngerti haknya. Thanks to you."

Sebelum kubilang bahwa aku nggak bantu apa-apa, Arwen sudah pergi menuju pojok kerjanya. Aku kembali ke mejaku juga.

"Make something magic," Ryan mengulang kata-kata Arwen sambil mengangkat laptop kembali ke belakang bar.

"Ry, kalau Ken menutup Chapter One, lu mau ke mana?"

Selama beberapa jenak, Ryan merapikan meja bar dan semua perabot di atasnya. Tapi aku tahu dia sedang memikirkan pertanyaanku.

"Kamu sendiri?"

"Gue..." Sambil bertopang dagu dengan satu tangan, mataku menerawang ke rak-rak buku di seberang. Bisa nggak aku jujur sama Ryan? "Entahlah. Mungkin melamar ke sekolah-sekolah? Yang jelas gue ingin ada peningkatan. Nggak sekedar kerja di library café lagi."

"I thought you like it here?" tanyanya bingung.

"Suka. Tapi Ry, adik gue bakal kuliah." Kupandangi dia yang sekarang sedang berjalan ke mejaku. Ditariknya satu kursi, lalu dia duduk menghadapku dengan tangan bertopang pada sandaran.

"Terusin."

Tanpa berani memandang Ryan karena takut dia bisa melihat mataku yang mulai basah, kujelaskan dengan suara yang pelan sekali.

"Terus terang aja yah Ry, gaji di sini nggak seberapa. Kita nggak ada tunjangan apa-apa. Dan gue capek banget. Gue pulang paling malam di rumah. Ayah gue sakit. Adik gue kesepian. Rasanya sia-sia kalau gue kerja rodi tapi hasilnya nggak seberapa, Ry."

Baru kali ini aku jujur pada Ryan. Jujur pada perasaanku sendiri juga. Rasanya lega banget. Aku malah nggak tahu kalau isi hatiku seperti itu. Tapi, itulah Ryan. Mungkin karena tatapan matanya yang teduh itu. Mungkin karena suaranya yang tidak suka mendesak. Mungkin karema sikapnya, yang membuatku seperti punya penjaga itu. Mungkin karena semuanya.

Ryan selalu membuatku terbuka. Caranya bicara sangat berbeda dari Arwen dan Ken. Dengan Ryan, kamu seperti bicara sama psikolog. Seperti ingin membuka semua rahasia.

"Gue tahu. Kamu mau melamar ke mana?" tanyanya lembut. Matanya birunya menatapku dalam-dalam. Ingin betul aku tahu apa yang ada di pikirannya saat ini.

Jengah ditatap begitu, aku mengalihkan pandang dan pura-pura sibuk dengan laptop.

"Gue lagi nunggu panggilan dari Jakarta, Ry."

***

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang