Part 29

2.1K 241 0
                                    

Tumben-tumbenan, malam itu Ken membuat grup Whatsapp antara kami berempat. Lucunya, semua belum tidur. Arwen dan Ryan langsung membalas, sedang aku cuma baca aja. Masih sungkan rasanya berwhatsapp-ria dengan Ken.

Begini isi percakapannya:

Begini isi percakapannya:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Heran. Memangnya dia mau diskusi apa? Bisa dibilang, selama ini kami bekerja terpisah. Aku nggak tahu tentang café dan keuangan Chapter One. Arwen dan Ryan juga nggak tahu tentang koleksi buku dan genre apa saja yang Ken ingin aku tambah atau kurangi.

Lalu, aku kan mau mengundurkan diri. Ngapain dia bentuk grup sekarang dan memasukkanku di sana? Jangan-jangan itu modus supaya aku nggak enak hati meninggalkan mereka. Hmh.

Bukannya aku nggak senang kerja di situ. Dua tahun bertahan, kurasa aku cukup betah. Tapi lama-lama kebutuhan kami makin besar. Biaya kuliah Lyana kan nggak sedikit. Aku perlu pekerjaan baru yang lebih bagus dalam semua hal: gaji, tunjangan, dan job-desc (supaya CV-ku juga tambah bagus dan karirku bisa meningkat).

Terserah deh. Pokoknya setelah selesai membantunya besok, aku akan kasih surat pengunduran diri dan akan bertahan sebulan lagi saja supaya masih sempat mengajari calon penggantiku – Ken harus rekrut satu, kasihan Arwen kalau harus belajar tentang pengelolaan buku.

Dan dalam sebulan dua atau sampai batas waktu yang disetujui Ken, aku bisa melamar pekerjaan. Bisa aku hubungi beberapa teman kampus dulu, terutama yang sudah kerja di sekolah-sekolah juga. Siapa tahu ada lowongan yang nggak dibuka lewat iklan.

Sebetulnya, ada dua sekolah internasional yang sedang kutunggu responnya. Posisi yang kulamar adalah sebagai Librarian, dan satu lagi Librarian Teacher. Dua-duanya di Jakarta. Tapi yang satu, yang mencari posisi Librarian Teacher, mau buka sekolah cabang Bandung. Aku berharap banget bisa diterima di situ.

Tentu saja aku nggak bilang sama Ken. Memang belum tentu diterima, tapi nggak tahu kenapa, aku yakin akan ada perubahan. Mungkin aja sih aku hanya terlalu bersemangat. Setiap peluang perubahan pasti bikin semangat, kan.

[Meeting di ruangan saya pukul 1 siang]

Aku mengangkat kepala, memandang ke arah Ryan yang sedang mengumpulkan bon pembelian. Jauh di ujung sana, Arwen juga sedang membaca ponselnya. Hari ini Arwen kelihatan pucat, Dan menurutku, juga lebih kurus.

Dia mengangkat muka, dan pandangan kami bersiborok.

"Tumben?" bisikku.

Arwen mengangkat kedua tangan ke udara. Entah. Lalu dia berdiri, celingak-celinguk memeriksa keadaan, kemudian menghampiri bar.

"Gue heran ama bos lu."

"Bos lu juga, kali." tukas Ryan. Aku merasa seperti dejavu. Pengin ketawa melihat kekesalan di mukanya.

"Heran kenapa, Wen?" tanyaku, nimbrung.

Arwen naik ke kursi bar yang tinggi, tepat di depan Ryan. Lalu dia memutar-mutar bangkunya supaya bisa melihat aku dan Ryan bergantian.

"Ken mau resign dari kerjanya di London. Kan bego? Di Indonesia dia mau kerja apa?"

Ryan mengernyit heran. Dipandanginya Arwen yang sedang berputar-putar, macam anak kecil yang baru tahu dapat mainan baru. "Masa iya? Nggak bilang apa-apa ke gue."

"Kapan itu?" Kuharap bukan karena kemarin aku bilang minta resign. Jadi nggak enak gini.

"Lu nggak pusing, putar-putar kayak gitu, Wen?"

Arwen mendongak dan tertawa. Rambutnya sekarang sudah sepunggung, tergerai dengan bebas, "Pusing sih."

"Kapan Ken bilang mau resign?" Aku kejar jawaban Arwen.

"Tadi subuh."

Ah gila. Gila-gila-gila. Ini pasti gara-gara aku mau resign, terus dia jadi harus ambil alih pekerjaanku.

"Mungkin nanti dia mau bilang itu?" Ryan kedengaran nggak yakin dengan pikirannya sendiri. "Tapi setahu gue, dia cuma summer holiday di sini."

"Yah, perkembangan terakhir adalah tadi pagi, kan? Kita tunggu aja."

*** 

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang