Part 22

2K 246 2
                                    

Siang itu terlalu panas untuk jalan-jalan bahkan di mall sekalipun. Karena Astina harus kembali kerja, aku terpaksa pulang. Seharusnya, aku bisa mampir ke mana kek, mumpung lagi nggak kerja. Tapi mana bisa aku jalan dengan tenang sementara nasib pekerjaanku digantung?

Tidak tahu harus ke mana dan mau apa, kuputuskan untuk pulang. Lyana bilang hari ini dia sudah di rumah jam tiga sore. Jadi, daripada sepi sendirian, aku berlambat-lambat sepanjang jalan dan akhirnya sampai di rumah pukul tiga lewat seperempat.

Lyana sedang belajar di kamar. Melihatku pulang, dia semangat. Ditariknya jemariku sampai kami masuk ke kamar tidurnya. Kami sudah tidak sekamar lagi sejak dia SMP. Kami nggak ingin ada kamar yang kosong. Semua kamar tidur kami tempati.

Kamar Lyana sangat rapi. Bantalnya ditumpuk dua. Selimut di bagian kaki. Sepreinya sangat licin dan rapi. Aku jadi kepingin langsung tidur. Kurebahkan tubuh, lalu kupejam mata. Capek sekali.

"Temanin aku belajar Bio, Kak."

Aku menurut saja. Dia pun mulai mengoceh panjang lebar tentang pelajaran Biologinya. Kadang-kadang dia membaca, kadang-kadang tidak. Aku sudah lupa dengan Biologi kelas 12. Yang bisa kulakukan hanya mengeluarkan suara hmm hmm saja, supaya dia tahu aku menyimak. Kadang-kadang aku melontarkan pertanyaan untuk mengujinya.

"Kalau Kak Lis tiap sore ada di rumah, aku yakin Ujian Nasionalku bagus deh. Ada teman ngoceh."

"Hati-hati dengan omongan, Na." tukasku pelan. Berharap aku ada di rumah setiap sore untuknya sama saja dengan mendoakan aku kehilangan pekerjaan. Aku lagi sensitif banget karena was-was.

Senyumnya melebar, menunjukkan dua lesung di kiri dan kanan. Manis sekali. Dia lebih cantik dariku, dari dulu aku sadar itu. Kalau tertawa, matanya nyaris segaris. Sipit. Dulu aku memanggilnya Si Sipit, tapi Ayah melarang. Katanya nggak sopan. Nanti teman-teman kami yang keturunan China tersinggung.

Aku menurut di depan Ayah, tapi tidak kalau hanya berdua dengan Lyana. Yang penting dia nggak tersinggung. Dia sendiri punya julukan, dulu. Dia memanggilku Mimi Hitam. Soalnya rambutku selalu panjang seperti tokoh penyihir yang suka nyolong uang emasnya Paman Gober.

"Cuma senang aja karena Kak Lissa ada hari ini."

"Lebay."

"Eh, serius! Aku kan selalu sendirian sampai kalian pulang."

Aku hampir nangis. Betapa adikku ini kesepian. Ayah selalu pulang maghrib, apalagi kalau dia ada acara dengan rekan-rekan kantor, atau pas harus konsul ke rumah sakit – bisa lebih malam lagi. Aku? Jam delapan sampai di rumah saja sudah bagus. Praktis, Lyana menghabiskan waktu sendirian di rumah sepulang sekolah.

Nggak adil banget buat Lyana.

Aku belum pernah benar-benar memikirkan posisinya. Apa rasanya pulang ke rumah setiap hari, mendapati kesunyian, membereskan rumah dan makan malam, mengerjakan tugas-tugas sekolah, sendiri, dan waktu kakaknya pulang, sudah terlalu capek untuk diajak ngobrol?

Kupandangi adikku sementara dia asyik membaca buku pelajarannya sambil komat-kamit. Dipikir-pikir, kondisiku lebih baik daripada Lyana. Aku masih sempat merasakan curhat pada Ibu tentang anak-anak menyebalkan semasa SMP.

Lalu dia pergi sebelum aku lulus. Masa-masa sulit. Aku nyaris nggak lulus. Justru Lyana yang jadi kekuatanku. Kalau aku hancur di depannya, siapa lagi yang bisa dia pegang?

Selamanya aku ingin menjadi kakak terbaik bagi Lyana. Aku ingin memastikan dia mendapat yang terbaik, dan keadaannya selalu baik-baik saja. Dan ini yang nggak dimengerti Ken. Boleh saja dia anak tunggal, tapi aku bukan. Aku ini kakak.

"Na, kalau aku diterima kerja di Jakarta gimana? Atau di kota lain? Menurutmu?"

Aku ingin dia bilang, 'Aku mau ikut.'

Tapi mata bulan sabit Lyana menatapku heran. Alisnya berkerut pertanda tidak setuju. "Ayah gimana?"

Bukan Lyana namanya kalau nggak mendulukan Ayah daripada diri sendiri.

"Memangnya Kak Lis dipecat?"

"Nggak. Disuruh libur sehari habis capek kemarin semalaman bantuin bos." Ada benarnya, tapi nggak sepenuhnya tepat. Nada Ken menyiratkan dia sudah nggak mau lagi berurusan denganku.

"Kalau gitu, boss Kak Lis baik juga. Habis lembur sampai malam, dikasih cuti sehari!" ucapnya senang. Kupaksakan tersenyum supaya dia nggak curiga.

Aku juga berharap itu benar – bahwa bosku baik.

Tapi jaga-jaga itu tetap perlu, terutama kalau menyangkut hajat hidup kami bertiga. 

*** 

Bilang Aja Napa [Completed]Where stories live. Discover now