Part 8

2.8K 284 5
                                    

Hari yang kutunggu-tunggu tiba.

Rabu pagi, sebelum jam buka Chapter One, kami merapikan semua ruang. Senin dan Selasa kemarin kami sibuk banget, soalnya nggak ada tenaga kebersihan resmi di sini. Salah satu ruang itu adalah kantor kecil Pak Ken, yang baru Senin itu aku lihat bagian dalamnya. Selama ini kamarnya dikunci. Semua perabot di dalam ruang itu ditutupi kain putih besar sehingga aman dari debu. AKu dan Arwen melepas semua kain dan melipatnya untuk dikirim ke binatu.

"Ken itu OCD. Dia nggak suka segala yang berantakan." Arwen menjelaskan sambil mengelap meja kerja bewarna putih, pada Senin pagi.

Sebenarnya, seluruh ruang kerja berukuran dua belas meter persegi itu juga bernuansa putih dan abu-abu. Perabot di dalamnya didominasi warna putih. Tirai yang menutupi jendela bewarna abu-abu muda. Pemandangan dari jendela itu langsung ke halaman samping rumah. Ada pohon besar yang membuat kamar ini teduh karena bayangannya. Ternyata itu pohon yang membuatku senang ketika pertama kali datang ke tempat ini.

Kuedarkan pandang ke sekeliling ruang kerja itu. Dugaanku, dulunya ini kamar tidur. Mungkin kamar Pak Ken waktu kecil? Sependek ingatanku, Arwen pernah cerita bahwa Pak Ken dibesarkan di sini. Kemudian sejak orangtuanya meninggal, tempat ini dijadikan bisnis perpustakaan kafe. Mungkin salah satu orangtua Pak Ken hobby membaca dan mengoleksi buku, dan anak mereka merasa sayang untuk membuangnya. Jadilah perpustakaan ini. Entahlah. Dugaan saja sih.

"Benar-benar OCD atau olok-olok doang, Wen?" tanyaku sambil membuka tirai jendela. "Tirainya bau debu. Ada cadangan? Kayaknya ini harus kita ganti."

"Ada. Di laci lemari sebelah sana," tunjuk Arwen ke pojok ruang, dimana ada lemari dinding built-in. Aku segera menuju lemari itu dan membukanya. Yah, tirainya sama persis dengan yang sedang tergantung sekarang.

"Pokoknya, dia senang rapi. Jangan ada kertas-kertas di atas mejanya. Segalanya harus berbentuk kotak atau persegi. Nggak buang-buang ruang, katanya."

"Kayak Poirot," gumamku pelan, teringat tokoh fiksi Agatha Christie kegemaranku.

"Siapa?"

"Poirot, detektif Belgia yang suka rapi-rapi dan bentuk-bentuk persegi. Persis Pak Ken ini."

"Oh," Arwen terkekeh. "Iya juga. Ken penggemar Agatha juga."

"Jangan-jangan terinspirasi Poirot?"

Kami tertawa.

"Jangan-jangan ... dia berkumis kayak Poirot?" tanyaku serius.

Arwen tergelak. "Enggaklah! Poirot kan udah tua! Ken masih muda, tauk. Seumuran gue."

Baru sekarang aku tahu usianya. Kukira dia lebih tua daripada Arwen. Yah, seharusnya sih bekerja dengan orang muda nggak sulit. Apalagi kalau jebolan luar negeri. Biasanya lebih negotiable dan nggak ambil pusing dengan remeh temeh dan perintilan. Bule biasanya praktis-praktis aja sih. Itu kata ayahku, yang dulu pernah punya kerja sama dengan orang bule.

Hari Rabu, kami mengeluarkan buku-buku yang sudah rusak sampulnya dan menyisihkannya ke dalam kontainer plastik. Nggak banyak, hanya kira-kira tujuh puluhan buku.

"Ken udah landing di Husein!" seru Ryan sambil melewati aku dan Arwen yang sedang merapikan meja-meja. Sebentar lagi Chapter One buka, jam sembilan. Ryan sudah merapikan barnya. Udara terasa wangi, disemprot parfum ruangan aroma bunga.

Sambil menunggu, aktivitas kami tetap berjalan seperti biasa. Pukul sepuluh, beberapa ibu muda datang dan menempati meja-meja di teras yang teduh. Lalu beberapa anak muda menempati meja-meja di bagian dalam. Chapter One adalah area bebas asap rokok, jadi walaupun di ruang terbuka, kami tidak mengizinkan siapapun merokok.

Aku sedang mengantarkan makanan ringan dan minuman pesanan para ibu muda itu ketika sebuah mobil masuk ke halaman. Setelah berhenti tepat di depan teras Chapter One, pintu taksi pesanan itu terbuka. Seorang anak muda berwajah bule dengan sisa-sisa cukuran janggut yang kasar di dagunya turun dari dalam. Mukanya sangat berbeda dengan foto lama yang dulu kukira anak Pak Ken. Yang ini bule banget. Mungkin waktu kecil belum kelihatan turunan bulenya.

Tatapan kami beradu beberapa detik. Jantungku berdebar, bukan karena terpesona pada wajah tampannya, tapi karena pandangan Pak Ken yang dingin.

"Carlissa, eh?" tanyanya. Bisa kulihat dari sudut mataku, ibu-ibu muda itu curi-curi pandang dengan rasa penasaran.

"Yes, Sir." Aku mendekati dan mengulurkan tangan. "Welcome home!"

Dia menyambut tanganku sebentar, lalu melepasnya cepat. "Saya ingin bertemu kamu di dalam."

Tanpa menoleh lagi dia masuk cepat-cepat. Langkahnya berderap, seperti sedang tergesa mengejar sesuatu. Mungkin dia rindu rumah. Kuikuti dia dengan was-was.

Arwen dan Ryan menyambutnya dengan senang. Keduanya langsung bangkit dari duduk dan menghampiri Pak Ken.

"Hi! Finally!" Arwen memeluknya ramah. Ken menepuk punggung Arwen pelan. Mukanya tiba-tiba enak dilihat. Wow. Ternyata mereka sedekat itu.

"How are you?" Ken tersenyum kecil, lalu menatap Ryan di belakang Arwen. "And you! Wow, nice haircut, man!" Dilepasnya Arwen, lalu menyambut uluran tangan Ryan.

Plontos gitu, apanya yang bagus?

Ryan mengusap kepalanya dengan bangga. "Simple yet good, right?" Dia ketawa. Kayaknya mereka teman lama. "You too, Ken. Nice haircut!" Dia menunjuk rambut Ken yang menurutku biasa aja. Jabrik gitu. Entah pakai pomade atau memang rambutnya berdiri.

Sekali lagi aku takjub. Mereka memanggilnya dengan nama. Kayaknya cuma aku aja yang nggak disambut dengan begitu ramah. Ya, wajar sih. Kami belum pernah bertemu.

Mungkin nanti, lama-lama, aku akan bisa seakrab itu dengannya. Sepertinya sih dia bukan sosok yang menakutkan seperti tugas dadakannya kemarin.

Sepertinya.

Praise God - utang ke dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Praise God - utang ke dua. Masih dua part lagi hutang saya untuk hari ini. Tapi kayaknya saya harus tidur, kawans. Maklum masih dalam pengaruh obat.

Semoga besok saya bisa nulis dua part lagi ya...

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang