Part 13

2.1K 287 7
                                    

Setelah basa-basi Asti dan tanya jawab tentang rumah, perempuan itu menatap kami bergantiab.

"Neng tahu dari mana kalau rumah ini dijual?"

Suaranya pelan dan ramah. Tapi kurasa dia nggak betul-betul ramah. Ini cuma karena urusan bisnis saja.

"Dari iklan di Pikiran Rakyat beberapa minggu lalu, Bu," jawabku dengan cepat. Ken mengirim foto iklan itu kemarin. Waktu melihat nomor telepon yang tercantum, kukatakan bahwa itu nomor contact person-nya. Tapi kata Ken, bukan. Itu nomor perantara. Ken nggak mau beli lewat perantara.

"Ooo ..." Dia mengangguk-angguk. "Maaf, soalnya ada banyak yang tanya-tanya asal tembak. Saya kan nggak pasang plang."

"Udah terjual ya, Bu?" tanya Asti.

"Belum, belum. Harga belum cocok." Lalu dia menjelaskan luas tanah dan bangunan serta fasilitas-fasilitas rumah itu. Asti menyimak dengan serius, sementara aku sudah tahu semuanya dari data Ken. Karena keterangannya nggak perlu dicatat. Akhirnya perempuan itu menyebut sebuah nominal.

"Hmm... satu milyar, ya?" ulang Asti. "Kira-kira bisa ditawar, nggak?"

"Bisa, bisa. Kalau Neng serius mah, bisalah kita nego lagi. Yang mau beli ini, Neng sendiri?"

"He eh."

"Nawarnya berapa? Nanti saya info suami saya."

Asti berkilah dengan alasan yang sama, harus bertanya dulu pada suaminya.

"Boleh tahu nomor dan nama Ibu?" tanyanya lagi.

"Oh, iya. Memang waktu itu saya nggak mau cantumin nomor pribadi, soalnya saya nggak ada waktu untuk kasih penjelasan bolak-balik. Kalau memang minat, orang pasti datang langsung, iya kan?" Dia tersenyum, lalu menyebutkan sederet nomor padaku.

"Bu Ratih," ulangku sambil mencatat.

Astina meninggalkanku dan mengelilingi halaman rumah itu pelan-pelan. Ini memberikanku kesempatan untuk memancing Bu Ratih.

"Kenapa dijual, Bu? Kan enak di sini, adem?"

"Rumah keluarga, biasalah." Dia menoleh ke belakang, memandang rumah selama beberapa saat. Kurasa dia sedang bernostalgia sejenak. Lalu dia menoleh padaku lagi. "Yang punya udah meninggal. Adik saya. Saudara-saudara nggak ada yang bisa ngurus, jadi mending dijual, kan?"

Aku manggut-manggut. Tiba-tiba ada banyak pertanyaan di kepalaku. "Almarhum memangnya nggak punya keluarga? Belum nikah?"

"Udah sih, udah nikah. Tapi suaminya juga udah meninggal. Kecelakaan."

Bu Ratih tersenyum, entah sedih atau getir - aku nggak bisa memutuskan.

"Maaf ya Bu, jadi ngingetin yang sedih," ucapku tulus. "Turut berduka, ya."

Dia memaksakan diri untuk tersenyum. "Nggak apa. Udah lama, kok. Makanya supaya nggak banyak nostalgia, kami putuskan jual rumah ini."

Aku memandang ke rumah itu dengan lebih perhatian. "Nggak ada anak juga ya, Bu?" tanyaku sambil lalu. Entah kenapa aku jadi cerewet banget. Tiba-tiba saja aku ingin tahu kenapa Ken menginginkan rumah ini. Apa hubungan Bu Ratih dengan Ken? Kepingin betul aku tahu, tapi jelas Ken nggak mau aku menyebut namanya di depan ibu ini. Sudah susah payah dia menyuruhku mewakilinya, pasti ada apa-apanya.

"Anak? Ada, sih. Tapi agak begini," dia menaruh telunjuknya di depan dahi, miring.

Gila? Waduh, tambah kasihan deh aku. "Usia berapa anaknya itu?"

"Seusia Neng, mungkin. Saya kurang kenal." Matanya menatapku curiga. "Neng ini banyak tanya. Neng wartawati?"

Aku kaget banget dengar tuduhannya. Buru-buru aku angkat kedua tangan. "Bukan, Bu. Maaf. Cuma penasaran aja dengan cerita-cerita sedih." Kupanggil Asti supaya segera datang. Cewek itu tersenyum lebar dari jauh. Kelihatannya dia senang banget. Ibu Ratih pasti percaya kalau Asti benar-benar calon pembeli serius.

Setelah basa-basi pamit, kami pulang. Ibu Ratih meminta nomor ponsel Asti. Terpaksa diberikan.

"Sori, Asti, terpaksa lu jadi ikut permainan bohongan ini. Kali berikut mungkin gue harus ajak elu lagi."

"Ah, tenang!" Tangannya menepuk pundakku dengan gaya sok bijak. "Gue selalu siap menolongmu, sobat!"

"Ngomong-ngomong, gue tadi sempat lihat surat-surat pos lama di halaman samping. Kayaknya sampah mau dibuang."

"Oya? Ada yang menarik, Detektif Astina?" selorohku. Kami sama-sama pecinta novel detektif.

Asti melepas kacamatanya, menyimpan dalam tas, lalu melipat kedua tangan di belakang tengkuk. Pandangannya tertuju padaku, biarpun aku nggak bisa menatapnya karena sedang menyetir.

"Lu pasti tertarik. Nama-nama di surat itutuh, ada untuk Mr. and Mrs. Matthew Alderink. Dan, ada untuk Mr. Ken Matteo Alderink."

***

Eng ing eeeeeng ...

Ish, penasaran deh ama Ken.

Wait ya Kak. Saya pengin banget cepet apdet tapi apa daya pegel banget hahaha

Sabarlah menanti besok ya.

luv luv, evenatka

Bilang Aja Napa [Completed]Where stories live. Discover now