Bab 28

3.1K 450 16
                                    

“Jika melepaskan dan mempertahankan sama-sama berakhir dengan luka,  berarti jalan satu-satunya adalah dengan menerima.”

^*^

Kecemasan itu menggelora. Menghimpitnya ke dalam lorong-lorong gelap dengan dinding-dinding yang membeku. Makin hari makin tidak kunjung mereda, dan malah memberat dalam setiap detik dan menit. Membuat segalanya tak tertahankan.

Siang itu Floriska berhasil melepaskan diri dari Marco. Dia menyelinap ketika cowok itu menghampiri temannya. Jika tidak begitu, Marco akan terus mengikutinya.

Bukan sosok Marco yang dia takutkan, melainkan bayangan kecemasan yang mengancam di belakang Marco. Sekaligus dirinya saat mereka bersama.

Dia pernah merasakan betapa pahitnya jika kehilangan Marco beberapa saat yang lalu dan dia sungguh tak ingin merasakannya lagi.

Kenapa ada banyak hal di dunia ini yang mampu memisahkan seseorang dari orang yang mereka cintai?

Jika bersahabat saja bisa membuatnya nyaris terpisah seperti kemarin, apalagi cinta?

Kenapa pula semua ini terjadi ketika tahun terakhirnya di SMA? Tekanan ujian bercampur aduk dengan kecemasannya.

Semua ini membuatnya gila.

Kini, Floriska berjalan di koridor lantai satu. Di depan ruang klub futsal yang selalu saja ramai oleh anak-anak yang nongkrong di sana saat istirahat. Baik anggota bahkan teman-teman dari anggota.

Dia melangkah perlahan, sengaja lebih pelan tepat di ambang pintu, menengok dan mengamati dengan cepat ruangan beraroma keringat cowok itu. Dari banyak cowok yang berkumpul, Floriska tak menemukan seseorang yang sedang dia cari di sana.

Mendesah pelan, melanjutkan langkah, dan pandangannya lenyap ke lantai. Bingung ke mana harus pergi dan bercerita. Sebenarnya dia bisa saja menceritakan hal ini pada Ibram atau Vanesa. Tapi sebelum mencoba, dia sudah tahu bagaimana tanggapan mereka. Dua teman dekatnya itu pasti akan mendukung dia dan Marco untuk berpacaran. Mereka tidak mengerti, cinta akan menghancurkan segalanya seperti orangtuanya.

“Flo,” panggil seseorang, membuyarkan lamunannya. Dia pun mendongak dan mendapati Arga berdiri tak jauh darinya. Tinggi, tenang, dan manis. Ada satu kaleng soda di tangannya.

“Arga, aku nyari kamu.” Tanpa sadar Floriska begitu saja mengatakannya. Tidak ada orang lain yang berpandangan berbeda di sekelilingnya kecuali Arga. Dan ke mana kah dia bisa berlari dari perasaannya selain kepada Arga?

Arga terpaku. Lalu dengan perlahan bibirnya tersenyum.

“Ayo,” Arga mengajak Floriska pergi. Membawa cewek itu menjauhi ruang guru, deretan kelas sepuluh, lalu berhenti ke sebuah ruang kecil bekas ruang konseling yang sekarang dijadikan ruang penyimpanan piagam sekolah.

“Nggak apa-apa, jarang ada yang kemari.” Terang Arga ketika melihat ekspresi ragu Floriska saat mengikutinya masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan laci-laci berisi piagam itu. “Gue biasanya juga di sini kalau lagi suntuk sama klub. Ngurusin anak-anak seumuran kita itu kadang bikin jenuh setengah mati. Lagipula nggak ada yang bakal menemukan lo di sini.” Lanjut Arga lagi dengan pandangan penuh arti.

Floriska mengangguk mengerti, lalu duduk di salah satu kursi plastik yang ditumpuk di sana. Arga sendiri berdiri menyandar di dinding, lalu memberikan kaleng sodanya kepada Floriska yang langsung menerimanya tanpa berpikir dua kali.

Floriska menghela napas, membuka tutup soda dan meminumnya banyak-banyak. Dahinya mengerut karena sensasi karbonat di tenggorokannya.
Arga mengamatinya dan merasa kasihan padanya. Entah kenapa, mungkin dia tahu bahwa Floriska berbeda dengan cewek-cewek lainnya.

Dia bukan cewek yang mudah mengemis perhatian, atau pun cewek yang selalu butuh diperhatikan. Floriska tidak mempedulikan hal-hal romantis dan segala macam yang ada dipikiran cewek lain, dia hanyalah Floriska. Kutu buku yang mencemaskan persahabatannya.

Mencemaskan Marco.

Dan hal itu membuat perasaan Arga perih.

“Sebegitu takutnya kah lo kehilangan Marco, Flo?” Arga memulai.

Floriska menghela napas sebelum menjawab.

“Aku luar biasa cemas. Aku nggak terbiasa sama perasaan seperti ini, Ga. Kemarin hampir aja aku bilang aku juga menyukainya. Sebelum aku sadar, aku nggak bisa kayak gitu. Bagaimana jika suatu hari nanti kami seperti orangtuaku? Aku bakal kehilangannya, kami bakal berhenti saling bicara dan aku bakal menyesalinya setengah mati.

“Aku pengin semua ini kembali normal, Ga.” Lanjutnya. “Aku pengin perasaanku ini kembali seperti dulu. Aku pengin melewatkan banyak waktu bersama Marco dan tetap bersahabat baik seperti dulu. Tanpa campur aduk masalah perasaan. Tanpa terus menurus merasa cemas seperti ini.”

Arga bersikap seperti pendengar yang baik. Tak pernah dia bertemu dengan seseorang yang begitu takut kehilangan persahabatannya dan berani mengorbankan perasaannya sendiri. Bukan karena orang ketiga. Tapi untuk kebaikan bersama.

Jemari Floriska yang kurus itu seakan menahan erat tali persahabatannya dengan Marco. Jangan sampai putus, jangan sampai jatuh, jangan sampai terperosok, jangan sampai terbawa arus dan akhirnya terpisah.

Arga mengulurkan tangannya. Menepuk pelan bahu Floriska.

“Gue paham.” Ujar Arga lembut. “Kayaknya lo lagi kacau banget deh, Flo.”

Floriska mendesah ringan. “Menurutmu bagaimana caranya aku menyampaikan semua ini ke Marco?”

“Kalau gue lihat, Marco bukan cowok kolot kalau udah berhadapan sama lo, Flo. Ceritain aja sejujurnya. Semuanya agar dia bisa mengerti. Toh, semua ini bukan untuk tujuan yang buruk. Ini buat kebaikan kalian berdua juga.”

Floriska mengangguk. Dia sempat berpikir seperti itu sebelumnya.

“Apa menurutmu yang aku lakuin udah bener?” lanjutnya memastikan.

Arga memandang Floriska dengan pandangan simpati. “Cinta itu rumit, Flo. Apa pun yang berkaitan dengan perasaan nggak ada yang mudah. Sebagian besar hubungan yang dibangun di usia kita itu selalu berakhir dengan kegagalan. Dan kalau kalian gagal, lo nggak hanya kehilangan Marco tapi sekaligus kehilangan sahabat lo.”

Kalimat terakhir Arga barusan meresap dalam ke pikiran Floriska. Sekali hubungan itu gagal, dia akan kehilangan segalanya. Seperti orangtuanya. Seperti papa dan mamanya yang gagal dan akhirnya membuatnya sendiri.

Terdengar bel tanda istirahat berakhir berbunyi.

“Makasih, Ga. Kayaknya cuma kamu yang mengerti betapa berartinya persahabatanku dengan Marco.” Ucap Floriska.

Arga hanya mengangguk, namun ketika Floriska hendak beranjak, Arga menahan lengannya dan berkata dengan perlahan dan serius.

“Flo, tawaran gue kemarin masih berlaku. Gue bersedia bantu madamin api yang ada di hati lo. Nasib persahabatan kalian memang tergantung kesepakatan kalian berdua. Tapi lo dan api yang berkobar di hati lo itu, butuh campur tangan orang lain buat madamin. Gue yakin lo nggak akan mampu ngelakuin hal itu sendiri. Dan gue ada buat lo untuk itu.”

------
------

Update dua chapter woiii...
Aku kan baik 😁

Author ngegas 😂

KAIROSOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz