BAB 4

7.6K 937 139
                                    

Memang lebih mudah memahami kesulitan orang lain, ketika kita pernah berada atau sedang dalam kesulitan yang sama.”

*^*

Malam itu, seperti biasanya, Marco mengunjungi rumah Floriska. Baru saja memarkir motornya, dia sudah disambut heboh oleh Bio. Miniatur beda kelamin Floriska yang berusia sembilan tahun.

Selama lebih dari empat tahun ini, Floriska hanya tinggal bersama adiknya. Sesuatu terjadi dengan hubungan kedua orangtuanya. Sehingga cewek itu dan adiknya harus mengurusi hidupnya sendiri secara mandiri.

Kadangkala, Marco merasa lucu mengingat bagiamana dia bisa bertemu dengan Floriska. Di antara seluruh orang yang ada di dunia ini, Floriska-lah yang menemukannya. Floriska-lah yang memegang erat dirinya agar tidak semakin jatuh ke lubang kegelapan dalam dirinya sendiri.

Cewek nyaris antisosial sekaligus seorang kutu buku kelas master itulah yang justru menguatkannya. Kendati kenyataannya, Floriska telah memikul beban jauh lebih berat daripada Marco sendiri.

“Kak Marco, Santa udah nggak gerak,” lapor Bio. Menjulurkan sebuah toples kaca pada Marco. Santa adalah kepik emas yang mereka berdua tangkap di lahan berumput tak terusus yang berada tak jauh dari rumah Floriska.

“Memang udah waktunya mati, Bio. Umur Santa kan memang pendek. Cuma dua bulan lebih.” Jelas Marco sambil mengamati toples kaca di tangan Bio yang berlabel tulisan cakar ayam Marco sendiri. Aspidomorpha Sanctaecrucis Fabricius.

“Kalau nggak salah kita nangkap Santa dua bulan yang lalu kan?” lanjut Marco sambil menggoyang-goyang toples kaca untuk memastikan serangga itu benar-benar mati. Dan kepik berwarna emas itu memang sudah kaku tak bergerak.

Bio menatap muram toples kaca itu.

“Udah nggak usah sedih, nanti kita tangkap serangga lagi, oke?” Marco mengusap lembut rambut anak itu.

Bio mengangguk menyetujui. Wajahnya yang persis Floriska berubah semringah, namun sejurus kemudian, wajah semringah tersebut berubah serius mengamati pelipis Marco.

“Berantem lagi?” ujarnya terdengar bukan seperti pertanyaan. Melainkan pernyataan.

Marco terkekeh. “Dikit,” jawabnya.
Bio geleng-geleng tak percaya. Sejak bertemu dengan Marco anak itu sudah terbiasa melihat satu dua memar di wajah atau bagian tubuh lain Marco.

“Kenapa sih berantem mulu? Kata Kak Flo, berantem itu perbuatan yang paling dibenci Tuhan. Dan kalau udah dibenci Tuhan, harusnya bertobat.”

Mendapat wejangan dari anak kecil seperti Bio membuat Marco tersenyum kecut. Bio benar-benar miniatur Floriska. Kadangkala, mendapati ekspresi Bio di waktu yang tidak tepat seperti ini membuat Marco bergidik. Seperti sedang kepergok langsung oleh Floriska.

“Yuk, masuk deh, Sabtu besok ayo ke lapangan, kita berburu kumbang,” Marco berusaha mengalihkan topik sembari menggiring Bio ke dalam rumah.

Yes! Aku mau kumbang yang lebih besar. Dan banyak,” Bio menyahut girang. Marco terkekeh. Dasarnya anak-anak tetap saja gampang dibujuk.

“Aku juga pengin punya kumbang besar dan banyak!” ulang Marco dengan keras, lalu refleks menutup mulutnya sendiri. Takut kena damprat Floriska.

KAIROSWhere stories live. Discover now