BAB 7

5.6K 771 167
                                    

Sebuah kebahagiaan yang tak terkira adalah ketika kehadiran kita diterima dengan tangan terbuka, apalagi diperlakukan akrab seperti teman lama oleh seseorang yang asing.”

^*^

“Arga, ini beneran contoh latihan soal-soal olimpiade nasional? Kenapa bisa segampang ini?” celetuk Floriska sambil membalik-balik soal latihan yang baru dia dapatkan dari Arga.

Sesekali dia mencoret-coret di selembar kertas buram sebagai perhitungan. Dia melakukan semua hal itu di dalam mobil Arga selama perjalanan pulang. Sementara si pemilik mobil hanya meliriknya sesekali dengan perasaan takjub.

Bagaimana tidak, secara luar biasa Floriska, berhasil mengerjakan sepertiga jumlah soal dalam mobil yang sedang bergerak ditemani lantunan lagu ‘The Script’ yang dia putar.

“Beneran segampang itu?” tanggap Arga kemudian sembari memerhatikan jalan. “Kayaknya Galang ngumpulinnya random kali ya? Nggak benar-benar dari soal-soal olimpiade.”

“Mungkin juga sih. Mending kita pinjam contoh-contoh soal dari perpustakaan sekolah deh, Ga.” Floriska mengangkat wajahnya sambil menatap jalanan dengan dahi mengerut.

“Emang ada? Perpus sekolah kita kan macam toko kelontong yang stok barangnya habis. Lagipula Mbak Alma bikin malas aja.” Arga mengomentari perpustakaan sekolahnya yang makin hari makin miris karena stok buku-buku yang makin tidak lengkap. Sekaligus petugasnya yang selalu tak ramah.

“Kayaknya ada. Coba besok aku tanyain lagi ke Mbak Alma. Petugas perpus yang satu itu emang sering nyebelin,” desis Floriska membuat Arga tertawa pelan. “Kalau ditanya apa-apa jawabnya nggak ada. Padahal aku yakin sih ada. Entar kalau dia bilang nggak ada, biar aku ke Pak Tamam, minta izin pinjam kunci gudang arsip. Kita cari sendiri aja.”

Mendengar kata ‘kita’ disebut cewek itu membuat Arga mengulum senyum. Entah kenapa Floriska terlihat begitu mudah menerima kehadirannya. Cewek itu seakan memperlakukannya seperti seorang teman yang dikenalnya cukup lama. Padahal baru beberapa jam lalu mereka bertemu dan berbicara.

“Lo semangat banget ya, Flo. Cocok sama lagunya,” ujar Arga kemudian, kebetulan, The Script sedang menjeritkan “Hall of Fame” dari pemutar musik.

Floriska tersenyum, dan senyum itu tertangkap lirikan mata Arga. Manis. Cewek itu benar-benar manis. Sekaligus cerdas.

“Sori, receh banget ya gue barusan,” sambung Arga terdengar menyesal. Kenapa pula dia menggombal tak penting seperti itu?

Floriska menggeleng santai. “Eh, Arga, aku nanti turun di depan kios sayur itu aja, ya?” mendadak Floriska memberitahu Arga sambil menunjuk ke arah sebuah kios sayur yang terlihat ramai oleh pembeli dengan pulpennya. “Mau belanja buat makan malam.”

“Di depan situ? Nggak apa-apa nih?”

“Nggak apa-apa. Rumahku nggak jauh dari sana kok. Jalan kaki beberapa meter juga udah sampai.”

Tak lama kemudian, Arga memelankan mobil lalu berhenti di bahu jalan dekat kios sayur yang tampak ramai pembeli.

“Beneran nggak apa-apa nih kalau nggak sampai depan rumah?” Arga memastikan. Baginya sangat pantang menurunkan cewek di tengah jalan. “Apa gue tunggu aja sampai lo kelar belanja terus gue antar sampai rumah?”

“Nggak usah. Nggak apa-apa, kok. Adikku sama Marco lagi nunggu di rumah. Nanti biar mereka yang jemput aku kalau belanjaanku ternyata banyak,” tukas Floriska sembari mengemasi barang-barangnya ke dalam tas.

Mendengar Floriska menyinggung Marco, membuat Arga mengingat pertemuan mereka di laboratorium beberapa jam lalu.

Arga mengamati seluruh interaksi Floriska dan Marco dalam diam. Ekspresi Marco pada Floriska, perubahan emosinya pada cewek itu, cara bicaranya, permintaan Floriska menjaga adiknya dan cara cewek itu menghadapi Marco. Mendadak, Arga mengingat insiden bola waktu itu. Sikap protektif Marco, dan kemarahannya. Mereka sungguh terlihat tak biasa.

KAIROSWhere stories live. Discover now