Bab 22

3.2K 535 41
                                    

“Seringkali seseorang ingin sekali dimengerti, padahal dirinya sendiri tak mampu mengerti orang lain. Jangankan orang lain, terkadang mereka pun tak mampu mengerti dirinya sendiri.”

^*^


“Seharusnya lo bicara sama Marco, gue tahu kok kalau Marco emang keterlaluan. Tapi, ini udah seminggu lebih dan kalian sama sekali nggak saling ngomong.” Gumam Vanesa. Mereka berdua sedang di kantin. Floriska memakan roti sembari membaca flash card-nya. Sementara Marco duduk tak jauh darinya. Bersama Ibram.

Vanesa menatap Floriska dan Marco bergantian. Meskipun dia begitu marah dengan kelakuan Marco, tapi dia tetap pendukung utama persahabatan teman dekatnya tersebut. Oke, memang Floriska agak tertutup akan kehidupannya dan masalah pribadinya, namun, selama dua tahun mereka satu kelas. Duduk berderet pula. Bertukar banyak obrolan meskipun bertema ringan. Bagi Vanesa itu cukup untuk membuat merasa dekat baik dengan Floriska, Marco dan Ibram.

“Kata si Jolan, Marco itu sebenarnya udah mati tapi pura-pura hidup. Dia nggak ngerjain tugas sama sekali, dia nggak dengerin guru, ngelamun, ketiduran di kelas, mengigau. Mengigau, Flo! Siapa coba yang bisa mengigaui di kelas?” Vanesa geleng-geleng menceritakan apa yang dikatakan Jolan, teman sebangku Marco sekarang. “Bertengkar sama lo itu, imbasnya gede banget buat Marco.”

Floriska menghela napas, melirik Marco sekilas. Cowok itu sedang melamun. Menumpu pipinya dengan satu tangan dan satu tangan lain mengaduk-aduk es tehnya. Tampak tak bergairah dan berantakan.

“Semua udah terjadi, lalu mau gimana lagi?” Floriska balas bergumam. Masalah ini tidak sesederhana yang Vanesa pikir.

“Gue tahu. Tapi Flo, masak perkara seperti ini aja udah bikin persahabatan kalian putus. Nggak inget apa sama kebersamaan kalian sebelum ini. Gue aja sampai iri kadang-kadang. Marco selalu ada buat lo, meskipun kadang-kadang tingkahnya jengkelin juga.”

Kebersamaan itulah yang jadi masalahnya, Nes, dan kehadiran Marco yang selalu ada untuknya itulah yang membuat segalanya serumit ini. Ingin sekali Floriska mengatakan hal itu.

“Marco nggak akan selamanya sama aku Nes, dia punya kehidupan sendiri. Kita hanya bersahabat. Dia bebas ninggalin aku kapan aja.”

Vanesa memandang Floriska tertegun. “Kenapa kamu berpikir begitu?” tanyanya heran.

“Karena manusia selalu seperti itu.”

“Marco nggak mungkin pergi ninggalin lo lah, Flo. Nggak mungkin banget,”

“Menurutmu begitu, tapi menurutku nggak.” Seperti biasa, Floriska selalu keras kepala.

Vanesa mendesah lalu mereka saling terdiam.

“Apa pun itu, pergi atau nggak, menurutku situasi seperti ini begitu salah.” Lanjut Vanesa kemudian. “Kita emang nggak tahu berapa lama seseorang akan hadir untuk kita, namun paling nggak kita harus hargai dia selama dia masih ada di sekeliling kita. Biar nanti kita nggak akan menyesal saat dia pergi.”

Floriska mengangkat wajahnya. Vanesa mendapatkan perhatian penuh darinya.

“Lo nggak mau kan, saat lo udah nggak bisa bertemu dengan Marco lagi, kalian masih dalam situasi marahan dan nggak saling bicara?” lanjut Vanesa lagi.

Papanya pergi ketika Floriska sudah berhenti bicara dengannya. Mamanya pun pergi ketika dia semakin malas untuk menghadapi wanita itu. Sampai akhirnya semua meninggalkannya dan dia mendapati dirinya sendirian. Tanpa kata tanpa saling bicara.

Terkadang dia merasa ingin membalik keadaan. Dia ingin berbicara banyak dengan Papa-nya sebelum pria itu pergi. Dia juga ingin bicara banyak dengan Mamanya sebelum wanita itu juga pergi. Namun dia selalu bersikap tak mau tahu akan alasan mereka dan mulai menghindari mereka begitu saja.

Apakah semua masalah ini datang karena keegoisannya sendiri?
Dan sekarang Marco. Kenapa sekarang dia begitu membencinya? Karena cowok itu akan pergi dan dirinya marah akan hal itu?
Dipandanginya Marco sejenak. Sebenarnya dia sama sekali tak ingin kehilangan sosok itu.

***

Pulang sekolah, Floriska sengaja berlama-lama di kelas. Karena siang itu pelajaran sejarah. Marco selalu bolos dan tas dan mejanya berantakan seperti biasa. Semua anak sudah meninggalkan kelas dan tinggallah dia sendirian di sana. Menunggu di bangkunya. Pandangannya jauh ke luar jendela. Ke lapangan futsal yang saat ini dipakai anak kelas sepuluh berlatih. Berharap Marco cepat kembali. Dia tidak tahu pastinya apa yang akan dia katakan. Tapi, mungkin Marco yang mau bicara dengannya lebih dulu.

Sejak kecil dia tak pernah mempedulikan orang lain. Sosialisasinya dengan sekitar begitu kurang. Sehingga dia tak tahu bagaimana caranya menyelesaikan masalah seperti ini. Dulu dia pernah punya teman dekat saat SD, mereka bertengkar akan hal sepele. Itu adalah salah Floriska tapi dia tak mau meminta maaf ataupun mengajaknya bicara lagi. Sehingga, selama sisa masa sekolah dasarnya itu, dia melewatinya dengan sendirian. Tanpa teman.

Terdengar derap langkah mendekat. Floriska berpaling, dadanya berdegup kencang. Dan sosok itu pun muncul. Floriska seketika berhenti bernapas.

Bukan Marco, tapi Ibram.

“Flo, kok masih di sini?” Tanyanya.

“Kamu kenapa balik?” Floriska malah balik bertanya.

“Tas Marco nih, kelupaan.” Jawabnya.

Floriska mengamati cowok itu membereskan barang Marco dengan asal-asalan.

Marco tidak kembali. Entah di mana dia sekarang.

“Nggak pulang?” tanya Ibram lagi setelah menutup resleting tas Marco.

“Ya bentar lagi, duluan aja,” pinta Floriska sambil kembali menatap lapangan futsal.

“Oh oke. Duluan ya, Flo,” pamit Ibram kemudian meninggalkan kelas terlebih dulu menuju kelas XII IPA 2 yang sudah kosong. Kelas yang terletak dua deret dari kelasnya sendiri, XII IPA 4. Di dalam ruangan itu seseorang menunggu, duduk bersila di atas meja. “Dia kayaknya nungguin lo!” lapor Ibram sambil melemparkan tas hitam itu ke pangkuan Marco.

“Gue tahu,” jawabnya singkat.

“Kalau tahu kenapa lo malah nelpon gue buat minta diambilin tas?” protes Ibram. Memandang cowok yang seminggu lebih ini bentuknya mulai seberantakan isi tasnya.

“Gue nggak bisa ketemu dia, Bram.” Ibram mengenyit. Marco menghela napas. “Gimana gue bisa ketemu seseorang yang benci banget sama gue?” lanjutnya meringis putus asa. Satu tangannya menyisir rambutnya sampai berdiri tegak berantakan. “Dibenci dia itu rasanya menderita Bram, pakai banget. Kalau Pak Salim nggak ngewanti-wanti gue buat nggak bolos sekolah, gue udah pasti bolos seminggu ini. Pengin banget deh gua punya ilmu yang bisa misahin tubuh gue dan roh gue. Jadi pas di kelas, gue tinggalin badan gue sementara roh gue jauh-jauh dari Floriska.”

Mendengar cerocosan melas Marco itu membuat Ibram geleng-geleng heran.

“Jadi lo pengin selamanya kalian bakal begini? Persahabatan sama dia berhenti begitu aja sampai di sini? Cemen banget lo.”

Marco kembali menghela napas dalam. Lalu melanjutkan dengan memelas. “Gue aja hampir nggak bisa natap wajah dia lagi. Tuh cewek super benci sama gue, Bram.”

“Lo itu ya pinter tapi bego.” Seloroh Ibram kesal. Lalu dia menarik keras lengan Marco sampai cowok itu spontan meloncat dari meja. “Sini, lo temuin dia. Bilang ke dia lo minta maaf dan minta baikan! Pusing gue liat muka lo lama-lama kayak kanebo lupa diperes!”

Tubuhnya tertarik seperti layang-layang, namun Marco berpegangan erat di meja. “Jangan Bram! Please deh, mending bunuh gue aja Bram, gue bener-bener nggak bisa natap wajah dia lagi,” erangnya putus ada.

-------
-------

Marco tuh takut banget dibenci Floriska.
Tuh otak serangga, udah kejer duluan 😂😂

Next part >>
Lagi baik hati nih author 😁😁

KAIROSWhere stories live. Discover now