Jealous

5.7K 670 50
                                    

Satu minggu setelah kepulangannya dari rumah sakit, Ken memutuskan untuk melakukan perjalanan dinas ke Jepang untuk menilik pabrik baru di sana.

Dia bahkan tidak pernah membahas soal bulan madu setelah pernikahan kami, meski ibu mertua gue selalu mendesak Ken untuk mempertimbangkan hal itu. Sebenarnya setiap hari setelah pulang dari rumah sakit, rasanya seperti bulan madu bagi kami berdua.

Gue justru bersyukur karena perjalanan Ken ke Jepang tidak mengharuskan gue ikut, jadi gue bisa terbang ke Indonesia untuk bertemu dengan keluarga gue.

Sesampai di Indonesia gue terkejut sekali karena kakak ipar dan kakak gue, orang tua Mikha ternyata membuka usaha berupa restorant sendiri. Nyokap ikut bantu-bantu mengawasi usaha mereka. Yang mengejutkan meski baru hitungan minggu, restoran yang mereka kelola tampaknya sangat ramai.

"Lo berani banget banting stir usaha ginian?" Tanya gue ke mama Mikha yang sedang sibuk mengurus pembukuan resto.

"Laki lo yang modalin gue, kenapa harus takut. Kalau nggak jalan tinggal minta modal lagi." Jawabnya santai sambal nyengir kuda.

"Hah?" Mata gue membulat.

"Lha, laki lo nggak cerita ke elo emang?"

"Enggak tuh."

"Wah . . . jangan-jangan lo bakalan punya bibit-bibit bini tukang ngatur nih. Ntar lo larang-larang laki lo kasih modal ke gue sama laki gue, repot dong . . ."

"Apaan sih. Justru gue seneng kalau dia memikirkan keluarga gue juga."

"Sampai ke ujung dunia, kagak ada lagi tu model-model kaya laki lu. Cuman satu di dunia ini." Kata kakak gue. "Buruan lo bikin duplikatnye, kali aja darah bapaknya lebih kentel jadi dermawan juga anak lo entar. Nggak kikir kaya emaknya."

"Sialan lo, gue nggak kikir ya, cuman sedikit perhitungan."

"Untung laki lo banyak duit ya, kalau kagak pusing dia ngadepin lo yang kikir."

"Sompret."

Kami masih sama seperti yang dulu. Gue bahkan tidak membawa satupun barang mewah yang keterlaluan ketika gue pulang ke Indonesia. Gue pengen keluarga gue tidak kehilangan gue yang apa adanya dan biasa saja.

***

Ini malam ke tiga gue berada di Indonesia dan selama gue berada di sini, gue selalu tidur bareng nyokap di kamar gue. Di peluk nyokap itu rasanya seperti dunia ini nggak akan pernah ada masalah, selama nyokap di samping gue.

"Ma . . ."

"Em . . ."

"Udah tidur?"

"Kenapa?"

"Mama bahagia nggak sih ma?" Tanya gue tiba-tiba. Tatapan mama dan tangisnya ketika gue menikah masih menjadi tanda tanya besar di hati gue dan mengganjal sampai saat ini.

"Punya kalian anak-anak mama, ditambah menantu-menantu mama yang saying sama mama, gimana mama nggak bahagia."

"Bi masih penasaran kenapa mama nangis pas Bi nikah?"

Mama menarik nafas dalam, kemudian memeluk gue. "Kamu itu anak paling manja, pembangkang, tapi paling mama saying. Mama nggak bisa membayangkan kalau kamu menikahi Ken, dia orang yang sangat sibuk, sangat kaya, dan sangat berbeda dengan keluarga kita. Mama takut suatu saat nanti kamu akan sibuk dengan dunia kamu dan melupakan mama."

"Mama . . ." Air mata gue menggengang di sudut-sudut mata gue.

"Bi akan tetap jadi Bi-nya mama. Yang galak, cerewet, pelit, Bi tetep Bi yang dulu ma. Malah Bi pengen bawa mama ke Singapura kalau mama mau, biar kita bisa deket."

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherWhere stories live. Discover now