Sisterhood

5.6K 680 15
                                    

Menjelang pukul enam sore gue masuk ke ruangan bos dan minta ijin untuk pulang cepat sore ini karena kakak gue minta ditemenin buat beli beberapa perlengkapan bayi dan gue dibebaskan begitu saja. Walhasil saat ini gue berada di sebuah mall di kawasan Jakarta Selatan dan sedang menemani kakak gue memilih sambil sesekali komentar ketika ditanya "Ini bagus nggak?" atau "Bagus biru apa merah ya?"

Gue dan Fenita kakak gue hanya terpaut dua tahun, jadi sebenarnya gue lebih merasa bahwa kami seperti teman. Dulu apa-apa selalu bareng, bahkan waktu Fenita pacaran dengan Wily (kakak ipar gue sekarang) itu juga gue yang comblangin.

"Gilak, capek juga ya." Katanya sambil mengelus perutnya yang sudah sangat besar.

"Kan gue bilang juga apa, lo kasih list aja gue yang beliin biar lo nggak kecapean." Gue bicara setelah mengunyah potongan steak didalam mulut gue, karena akhirnya kami kelaparan dan mampir di tempat makan di dalam mall itu juga.

"Nggak seru tau. Lagian gue tu yah, sejak Willy nggak ngebolehin gue kerja, rasanya mau gilak di rumah terus." Ujarnya.

"Lah kan ada nyokap, lo bisa ikut nimbrung di catering nyokap kalau emang pengen kerja."

"Yah lo tau kan nyokap, cucu pertama, gue nggak boleh capek lah, nggak boleh ini itu, terus gue cuman bisa bilang iya iya." Keluhnya.

"Lo bisa lanjutin bisnis jualan kue online lo, atau mulai jualan online apaan kek, kosmetik or what ever." Gue coba memberi opsi.

"Ntar habis lahiran kali ye."

"Nah lo tahu, habis lahiran katanya renovasi rumah lo kelar, lo juga mau mikir pindahan, satu-satu napa." Protes gue.

"Iye sih."Dia terkekeh.

Satu hal yang gue pelajari dari pembicaraan ini adalah dalam kehidupan, kita terkadang tidak puas dengan apa yang kita miliki, padahal sebenarnya mungkin orang lain sangat mendambakan apa yang kita miliki, atau kehidupan yang kita jalani.

"By the way, masih sering ketemu Edwin?" Tanyanya.

"Masih." Jawab gue singkat, sebenernya gue nggak pengen bahas Edwin sih, tapi mood swing yang di alami ibu hamil bisa lebih mengerikan dari PMS yang biasa gue alami. Jadi di sini gue yang harus hati-hati dan tetap menjaga perasaan kakak gue.

"Gila emang tu si Edwin, gue nggak habis pikir juga, kok bisa dia ninggalin elo demi cewe yang baru ditemui beberapa bulan." Dia berbicara dengan mulut setengah penuh dengan makanan "Eh, . . . cuman sebulan ya kalau nggak salah." Dia sendiri mengkoreksi.

Gue menarik nafas dalam "Bukan sebulan, mereka udah kenal selama enam tahun kok." Gue meluruskan.

"Selingkuhannya gitu?" Tanyanya lagi.

"Gue nggak tahu gimana harus jelasinnya ya." Gue mengambil jeda beberapa saat untuk menata emosi gue. "Dia berdiri di dua perahu selama lima tahun, satu gue dan satu bininya sekarang."

Makanan hampir saja berhamburan dari mulut Fenita sampai akhirnya dia terbatuk-batuk dan gue menyodorkan minum begitu dia bisa mengendalikan dirinya.

"Sompret banget tu si Edwin!"

"Lagian gue juga males bahas dia sih sebenernya." Gue nyengir dan kakak gue meraih tangan gue.

"Kalau lo butuh teman bicara lo bilang aja ke gue." Ujar Fenita.

"Thanks, tapi gue udah mulai recovery kok."

"Tapi kata nyokap lo pernah dianterin cowo ke rumah, namanya siapa ya, lupa gue. Kalau nggak salah dia dokter."

"Gila, jadi lo sama nyokap ngomongin gue di belakang gue nih?"

"Ya lo sama nyokap juga pasti ngomongin gue di belakang gue kan?" Protesnya, dan benar adanya.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang