Hard Day Ever

4.6K 670 10
                                    

Setengah sembilan dan gue udah sibuk dengan pekerjaan gue saat tiba-tiba gue dapat kabar dari abang gue kalau bokap masuk rumahsakit. Gue langsung pergi dan baru sempat memberi kabar ke bos setelah gue sampai di rumahsakit.

Gue terhuyung lemas saat melihat semua anggota keluarga lengkap di situ, alat pendeteksi jantung, infuse, dan semua peralatan medis termasuk oksigen sudah dilepas, sementara wajah bokap gue mulai membiru.

"Bang." Hanya itu yabg bisa gue katakan sebelum akhirnya gue menangis histeris.

"Papa kena serangan jantung." Abang gue berbisik ke gue sementara gue hanpir tidak bisa berpikir tentang apapun dalam pelukannya.

Orang yang paling ngertiin gue, pria manis yang bertanggungjawab, nggak kasar, dia selalu sayang ke nyokap dan anak-anaknya. Idola gue, sekarang pergi.

Semua menggelap, dan gue nggak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.

***

Gue terbangun dan berharap semua hanya mimpi buruk, tapi tidak. Keluarga besar ada di rumah dalam suasana berkabung, dan rumah yang biasanya hangat menjadi beku.

Gue memeluk lutut didalam kamar, karena satu-satunya yang bisa mengerti kesedihan gue adalah diri gue sendiri.

Tok tok

"Masuk." Jawab gue lemah dan seseorang masuk ke dalam kamar. Itu abang gue. Idola gue juga selain bokap.

"Bang."

"Hei."

Dia berjalan mendekati tempat tidur dan memilih duduk di sisi tempat tidur.

"Papa sudah tenang di sana, kita harus kuat." Katanya.

"Ya." Dan air mata gue kembali merembes.

"Dua hari lalu papa telepon abang, kami ngobrol banyak. Jauh lebih banyak dari biasanya."

"Papa bilang apa?"

"Semua tentang kamu." Jawabnya.

"Aku?"

"Papa pengen abang nasehati kamu, menghibur kamu soal mantan kamu. Papa pengen melakukan semua itu, tapi nggak tega. Jadi selama ini papa memperhatikan kamu tanpa kamu tau."

Gue terisak. "Aku nggak tau kalau masalahku bakalan jadi beban pikiran papa."

"Bukan, bukan itu. Perusahaan papa dinyatakan pailit, dan direkturnya diberhentikan." Jelas abang gue.

"Pailit?"

"Ya, beberapa anak buah papa menyelewengkan uang perusahaan dan ternyata hutang perusahaan tiga kali lipat lebih besar dari asetnya."

Gue menelan ludah, ini gila. Menghadapi masalah sebesar ini dan kami anak-anaknya nggak ada yang tahu.

"Perusahaan papa bahkan terlibat suap pengadaan barang dengan pemerintah.
Dan papa sudah dapat panggilan KPK, kemarin."

"Tapi aku yakin papa nggak salah."

"Ya, tapi karena papa direktur, papa tetep harus bertanggung jawab. Mungkin papa tertekan dan stress awalnya."

Gue kembali terisak, dan kami berpelukan. Sekarang tugas kami adalah menjaga mama, wanita rapuh yang selalu terlihat kuat karena ada papa di sampingnya.

Tok tok

"Bi, ada bos lo di bawah." Kata kakak gue.

"Dana temuin dulu." Kata abang gue.

"Ah . . . muka gue bengep." Gue melihat wajah gue di kaca.

"Nggak papa."

Akhirnya gue turun dan dia ada di ruang tamu, sementara keluarga besar sibuk di ruang keluarga.

"Hei." Dia berdiri dan mengulurkan tangannya, gue menyambut uluran tangan itu dan kami berjabat tangan ringan.

"Saya turut berdukacita."

"Terimakasih." Gue merasa kurang nyaman berbicara didalam rumah, karena suara keluarga gue terlalu berisik.

"Mau ngobrol di luar?" Gue menawarkan.

"Ok."

Gue berjalan diikuti dia dibelakang menuju pendopo kecil si samping rumah. Tempatnya cukup sejuk karena banyak tanaman. Disini biasanya kami menghabiskan waktu kalau lagi kumpul semuanya. Tapi belakangan sudah jarang karena semua sibuk, papa diangkat jadi Direktur, mama punya catering, kakak gue merit, abang gue sering dinas luar kota, dan gue sering pulang malem.

"Maaf saya nggak bisa datang kemarin, begitu terima kabar, saya langsung terbang dari Tokyo."

Gue terperagah mendengarnya. Setau gue dia harus menghadiri pertemuan oenting di Tokyo selama dua hari.

"Harusnya bapak nggak perlu langsung ke Indonesia."

"Buat saya, ini penting." Jawabnya.

"Lusa saya akan ikut ke Bali." Kata gue tegas dan jelas, sementara itu ekspreainya terlihat kaget.

"Saya sudah minta orang lain take over tugas kamu kok."

"I need to escape from this situation." Suara gue bergetar dan gue berusaha menahan semua perasaan yang ada dalam diri gue untuk tidak menangis di hadapannya.

"I'ts ok to cry." Dia menarik gue kedalam pelukannya, super shocking tapi gue menikmati berada dalam pelukannya. Begitu nyaman dan menenangkan, entah kenapa rasanya kok gue seperti dipeluk bokap.

"Sorry." Gue menarik diri.

"Nggak papa." Dia juga terlihat kikuk.

"Saya tahu kamu wanita yang kuat."

Gue mengangguk, dan setelah beberpa lama dia berpamitan.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang