Sofitel Bali

5.2K 611 13
                                    

Kami tiba di Sofitel Bali Nusa Dua Beach Resort pukul sebelas siang dan setelah check in, ada semacam briefing lunch gitu karena ternyata tim yang sudah dibentuk di kantor kemarin semua berangkat. Setelah di break down ternyata acaranya cukup rumit dan secara teknis setiap orang harus benar-benar bertindak on point, apalagi bos gue menekankan kalimat "zero mistake, zero tolerance."

Seneng karena ini kali pertama gue ke Bali untuk acara kantor, dan nginep di hotel bintang lima dengan fasilitas mewah yang untuk kami tim inti di siapkan selama dua hari di sini. Tapi beban kerjanya juga lumayan berat sih. Dan gue tahu, yang memikul beban paling berat di sini adalah bos gue, karena dia yang bertanggung jawab penuh utuk semua resiko yang mungkin timbul karena kami orang-orang yang nggak cukup capable yang dia libatkan dalam tim inti penyelenggaraan acara ini, seperti gue contohnya.

Setelah makan siang, acara kami free sampai sore, dan sekitar jam tujuh malam nanti kami akan bertemu dengan beberapa vendor untuk penyelenggaraan even untuk melakukan last meeting di hotel ini, termasuk perwakilan dari pihak hotel.

Beberapa anak cewe memilih untuk keluar dari hotel dan mencari tempat-tempat wisata terdekat untuk sekedar memperbanyak khasanah per-selfie-an yang instagramable. Sedangkan beberapa pria memilih untuk menghabiskan waktu untuk kembali ke kamar entah untuk apa, sementara gue memilih untuk ke arah pantai menikmati sunset, karena sunset di pantai ini gilak, keren banget.

Beberapa turis mancanegara tampak tengah berbaring di kursi yang sama dengan kursi yang gue tampati, beberapa masih asik mengambil gambar sunset atau mengambil gambar dirinya dengan latar belakang matahari terbenam yang memancarkan semburat merah.

"Gimana menurut kamu?" Suara itu mendadak timbul dan mengagetkan gue.

"Mr. Ken?" Gue menoleh.

"Such a perfect beach, right?" Tanyanya.

"Ya." Angguk gue.

"Boleh duduk?"

"Silahkan."

Dia memilih untuk duduk dengan posisi setengah berbaring menatap ke arah langit yang sama dengan yang gue tatap saat ini. Senja, ombak, pantai pasir putih, dan pria tampan, andai ini adalah perjalanan bulan madu, pasti ini akang menjadi perjalanan yang sangat sempurna.

"Berapa lama kamu menjalin hubungan dengan Edwin?" Tanyanya, dan gue sontak menoleh ke arahnya, gue mengrenyitkan kening, "You really wan't to know?" tanya gue "As long as I remember, you said that you don't really care about anything personal from your staff."

"Well, tadinya saya pikir begitu, tapi setelah tadi pagi kamu bilang mau resign setelah acara ini selesai saya jadi berpikir. Mungkin kamu terganggu dengan masalalu hubungan kalian, I mean, you can't be professional anymore."

"No . . .no . . .no . . . saya hanya berpikir, butuh lingkungan kerja yang baru aja." Gue mencoba mencari alasan.

"Nggak make sense sih buat saya, ketika orang resign hanya untuk cari lingkungan kerja baru. Memang kamu bisa jamin kalua lingkungan baru yang kamu inginkan itu bakalan lebih nyaman dari yang sekarang ini?"

"Ya sebelum saya coba, saya juga nggak tahu jawabannya."

"Nah itu, dan ketika lingkungan kerja kamu yang baru itu nggak memenuhi ekspektasi kamu soal lingkungan baru, terus apa yang akan kamu lakukan? Lompat ke perusahaan lain?"

"May be." Gue mengangkat bahu.

"Nggak gampang lho kamu menemukan perusahaan yang sustain dengan kondisi ekonomi global seperti ini, apalagi chance kamu untuk karir kedepan saya lihat cukup bagus di perusahaan."

"Selain uang dan karir, ada satu hal yang paling penting buat saya pak, kenyamanan."

Dia tampak mengerutkan alisnya. "Bagian mana yang membuat kamu tidak nyaman?" Tanyanya dan gue teridam, karena kalau gue jawab, jawabannya akan menjawab pertanyaan pertamanya soal Edwin.

"Ok, masih ada beberapa hari. Kamu pikirkan baik-baik." Si bos bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan meninggalkan gue. Dan demi Tuhan, gue nggak tahu apa motivasinya mendekati gue hanya buat ngomongin rencana resign gue yang sempat gue utarakan dalam perjalanan kami menuju Denpasar, Bali.

Tak lama kemudian seseorang datang menghampiri gue dan karena gue lihat itu Edwin, gue buru-buru beranjak dari tempat gue rebahan.

"Bi, tunggu." panggilnya, dan meski gue menoleh sesaat tapi gue memilih untuk tidak mengindahkan panggilannya.

"Arimbi saya mau bicara sama kamu." Edwin menarik tangan gue dan membuat langkah gue terhenti, mendadak seolah semua yang sempat hampir mengendap di diri gue kembali bergejolak.

"Edwin, please saya nggak mau kehilangan kendali dan menampar kamu di tempat umum seperti ini." Desis gue.

"Lakukan saja kalau itu bisa membuat kamu lebih baik." Jawabnya.

"Arimbi, saya mau meluruskan apa yang terjadi di antara kita." Imbuhnya.

"Kita sudah selesai, long time ago. Dan buat saya, kamu udah nggak berarti apa-apa."

"Belakangan saya tahu kalau kamu mengira bahwa lima tahun keberasamaan kita adalah kesalahan." Terangnya.

"Memang! dan itu adalah hal paling gue sesali." Gue mulai kehilangan kendali diri gue, karena semua kata-kata yang keluar dari bibir gue disertai tubuh yang gemetar.

"Saya sudah lama berakhir dengan Wina ketika kita bertemu, dan kita jalan bareng, Ok memang kami masih beberapa kali berkomunikasi, tapi sebatas teman." Jelasnya.

"Stop!" Gue melangkah mudur dan Ed terus merangsek.

"Arimbi, setelah kita putus, dan kamu sama sekali tidak membuka kesempatan untuk kembali saya baru intens lagi komunikasi dengan Wina." Terangnya masih terus mendesak gue untuk memaklumi kondisinya.

"Dan soal liburan kamu ke Singapore bareng dia?" Akhrnya gue terpancing.

"Itu ada acara meeting, tugas dari kantor, dan kebetulan Wina dan teman-temannya lagi spent time di Singapore untuk tahun baruan, dia ngundang saya dan saya datang, that's all."

"Bullshit!."

"Kamu bisa tanya Wina kalau kamu nggak percaya."

"Buat apa?!" Bentak gue "Biar kita bisa balikan lagi? Bisa?! Enggak kan?" Bentak gue lagi dan dia menghentikan langkahnya, sementar gue terus berlalu. Rasanya seluruh jiwa raga gue hancur saat itu juga.

Apapun yang keluar dari mulutnya nggak akan bisa merubah keadaan. Dan luka batin yang sudah mati-matian gue kubur ternyata harus dikorek lagi dengan cara seperti ini.

Apa gue masih harus bertahan dengan kondisi ini?

Satu kerjaan dengan mantan?

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang