Back to Office

4.9K 647 11
                                    

Senin pagi, dan semua berjalan seolah tidak pernah ada weekend aneh yang terjadi diantara kami bertiga. Gue, Edwin dan si bos.

Thank God karena bos sue sangat professional, dia bahkan nggak mengungkit barang sedikitpun soal Bali, Vila atau bahkan pembicaraan gue dengan Edwin yang terjadi di hadapannya.

Kami bahkan melakukan rapat persiapan dengan tim kecil dan tidak ada satu orangpun yang menyadari banyak kejanggalan yang terjadi di Bali, kecuali gue yang menjadi jauh lebih banyak diam daripada biasanya. Gue nggak memberikan usulan apapun bahkan ketika di minta, sampai rapat itu usai dan gue tatap diam.

"Kamu keruangan saya." Kata si bos setelah rapat usai.

"Baik pak." Gue mengekor dan masuk kedalam ruangannya. Sejak pagi gue bahkan nggak tahu harus bersikap seperti apa dihadapan si bos dan Edwin, tapi karena si bos nggak membahas apapun jadi gue juga tidak perlu memikirkan lagi harus bagaimana, gue berusaha menjadi wajar, tapi itu sulit.

"Duduk." Kata bos gue dan gue duduk tanpa bicara, bahkan tanpa menatapnya.

"Masih bisa professional?" Tanyanya dan itu membuat gue sedikit terkejut.

"Ma . . .sih" Gue menjawab ragu.

"Gini, . . . setelah semua yang terjadi di hadapan saya, saya akhirnya membuat keputusan." Katanya terputus.

"Saya akan acc permohonan resign kamu, dan untuk even di Bali, posisi kamu akan saya gantikan dengan orang lain."

Gue terdiam, seperti ada lubang menganga di dada gue ketika si bos menyelesaikan kalimatnya. Gue bahkan mempertanyakan keinginan gue untuk resign, apakah gue sungguh-sungguh menginginkannya atau tidak.

"Apa saya boleh minta waktu berpikir?" Tanya gue lemas.

"Saya tunggu jawaban kamu malam ini, karena besok dan lusa saya ada urusan ke Tokyo dan Kamis saya akan langsung ke Bali."

Gue melirik jam tangan yang melilit pergelangan tangan gue, ini sudah pukul enam sore, dan dia nunggu jawaban gue malam ini. Jam berapa gue harus jawab? Dan gue harus jawab apa?

"Baik pak." Gue pamit dari ruangan si bos dengan hati kemelut. Perasaan gue menjadi kecut, gue yabg bilang mau keluar dari kantor, tapi begitu si bos bilang akan menyetujui pengunduran diri gue, kenapa rasanya gue justru seperti orang baru aja di pecat.

Nggak lama setelah gue duduk di meja gue, gue melihat dia melintas dengan terburu-buru. Mungkin dia mau pulang, dan sampai sekarang gue juga masih belum tahu mau jawab apa. Akhirnya gue menghubungi kakak gue untuk minta pertimbangan.

"Gimana dong, dia udah setuju kalau gue resign tuh."

"Lo yakin mau resign?"

"Gue jadi nggak yakin setelah malam itu." Bisik gue lemah.

"Lo suka kan sama bos lo?" Desak kakak gue.

"Enggak. Gue cuman kasihan aja kalau sampai acara di Bali keganggu gara-gara gue keluar." Elak gue.

"Dia itu berkuasa, dia nggak butuh belas kasihan. Bahkan gue yakin banget kalau dia mau, kalian semua nggak perlu incharge, even organizer pasti bisa take over kok." Bantahnya, dan itu mutlak benar. Siapa gue sampai sebegitu penting dalam acara di Bali? Gue cuman staf biasa, ngga lebih. Dan soal vila, itu hanya soal kemanusiaan.

"Gini deh, yang tahu apa yang lo mau itu elo. Jadi saran gue, temui dia dan kasih tahu yang lo pengen. Bilang aja kalau permintaan resign lo waktu itu gara-gara emosi sesaat." Katanya Panjang lebar

"Dan gue kasih tahu lo ya, nggak semua orang beruntung bisa kerja di bawah bos yang baik banget kaya bos lo sekarang."

Kalimat penutup dari kakak gue seperti kasih gue pencerahan, dan setelah berterimakasih gue akhirnya menutup sambungan teleponnya, dan gue mengirim pesan singkat ke si bos.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang