"Oke Gavin, goodnight papa bear. Marsha tutup yaa"

"Gak usah matiin, tidur aja, nanti aku tutup sendiri telponnya"

Marsha hanya menuruti perintah Gavin, ia tak ingin membantah Gavin jika sudah berbicara dengan tegas seperti itu. Gavin masih menempelkan ponselnya dan masih menatap kamar didepannya. Hingga beberapa saat kemudian terdengar suara nafas halus dan beraturan diponselnya. Gadis itu sudah terlelap.

"Goodnight Bintangnya Gavin"

Gavin menutup panggilannya lalu sekali lagi memandangi kamar gadis absurd didepannya. Setelah merasa cukup, Gavin beranjak ke meja belajarnya. Membuka laptop dan tumpukan file-file dimejanya yang menunggu jamahan Gavin.

Sudah sejak setahun yang lalu Gavin meminta pekerjaan kepada ayahnya yang kebetulan seorang pemilik perusahan properti besar. Iya, Gavin berasal dari keluarga berada. Ayahnya yang seorang pengusaha dan ibunya pemilik beberapa restoran dan kafe yang tersebar di pusat kota. Meskipun begitu, keluarga Gavin bukan seperti keluarga kaya pada umumnya yang dilanda banyak masalah keluarga. Keluarga Gavin benar-benar keluarga yang hangat dan hampir tak ada perselisihan.

Ayahnya seorang lelaki yang hangat dan begitu mencintai keluarganya, ia selalu meluangkan banyak waktu untuk bersama keluarganya. Ayah yang humoris dan budak cinta sang Bunda. Dan ibunya seorang wanita cantik yang begitu lembut dan seorang istri dan ibu idaman semua orang. Sementara anak-anaknya, Gavin dan Nathan sang kakak hidup rukun dan baik dalam didikan sang ayah dan ibu. Ayahnya tak pernah melarang kemauan kedua anaknya jika itu kebahagian sang anak dan tidak merusak masa depan mereka. Bahkan ketika Nathan sang kakak yang tidak berminat menekuni dunia bisnis, ia lebih memilih memakai jas putih dan berkutat dengan pisau bedahnya. Ya, Nathan seorang dokter, lebih tepatnya seorang dokter bedah.

Nathan begitu mencintai profesinya hingga ia sangat berterimakasih kepada sang adik ketika meminta pekerjaan kepada ayahnya. Nathan sangat bersyukur begitu melihat antusias Gavin menekuni bisnis. Ia tak perlu merasa bersalah lagi karena menolak keinginan ayahnya untuk menjadi penerus perusahaan. Gavin lebih dulu bertanya kepada sang kakak mengenai keinginannya untuk mulai bekerja dengan ayahnya. Nathan bahkan terkejut ketika mendengar keinginan Gavin. Adik lelakinya itu bahkan masih baru diterima di SMA kala itu dan ia sudah merencanakan masa depannya dengan baik. Didikan orangtuanya memang tak pernah gagal.

Ayahnya bahkan lebih terkejut dari Nathan saat Gavin meminta bekerja dengannya. Ia baru menyadari jika putra bungsunya itu sudah dewasa. Melihat keinginan besar sang anak untuk bekerja, ayah nya tak bisa berkata apa-apa. Apalagi dengan alasan yang membuatnya semakin sadar jika Gavin, putra bungsunya itu bukan lagi Gavin yang merengek jika ditinggal bekerja sang ayah.

"Kamu yakin mau mulai kerja di perusahaan?" Tanya sang ayah kala itu dengan nada kurang yakin.

"Iya ayah, Gavin bisa mulai belajar dan harus bekerja untuk menghasilkan uang sendiri" jawab sang anak dengan keyakinan penuh.

"Ayah masih bisa ngasih kamu uang Gavin" sela ayah pura-pura tersinggung dengan ucapan anaknya.

"Bukan itu maksud Gavin ayah. Gavin sudah merencanakan masa depan Gavin dan Gavin tidak ingin menunggu sampai lulus kuliah agar bisa bekerja. Gavin harus sudah mulai bekerja dari sekarang dan nanti ayah tidak perlu khawatir dengan masa depan Gavin" jawaban sang anak menciptakan senyuman kebanggaan dari sang ayah.

"Apa ini tentang masa depanmu saja Gavin?"

Dengan nada menggoda ayahnya menatap Gavin yang terlihat bingung dengan pertanyaan ayahnya.

"Lalu bagaimana dengan gadis mungilmu itu?" pertanyaan sang ayah membuat Gavin tersentak. Ia mengerti maksud ayahnya, Marsha gadis mungilnya itu.

"Kamu tau ia begitu tergantung dengan mu dan kalau kamu bekerja artinya waktumu akan terbagi. Dan kamu mungkin bisa saja mengabaikannya nanti karena terlalu sibuk bekerja"

Hei, nona absurd!Where stories live. Discover now