Camer

4.9K 746 54
                                    

Kami sekeluarga ada, termasuk baby Mikha yang turut menyaksikan betapa sock-nya nyokap begitu gue dating dengan si bos dengan cincin berlian melingkar di jari manis gue dan kalimat si bos yang baru saja membuat tanduk abang gue keluar dari kepala pelontosnya.

"Saya akan menikahi Arimbi secepatnya." Katanya dan nyokap gue seperti baru saja nelen bakso segede kepalan tangan, matanya membulat menatap Ken, sementara Ken bagaikan prajurit pantang menyerah yang bahkan tidak merubah ekspresinya sedikitpun, sementara gue mengalami keringat dingin dan gemetaran hebat duduk di sebelah pria super percaya diri ini.

"Arimbi anak paling kecil dalam keluarga ini, dan kami nggak akan melepaskan dia ke sembarang pria." Abang gue juga nggak mau kalah, dia memasang ekspresi garang yang diwarisi dari almarhum bokap setiap kali tahu gue dianterin cowok pulang waktu SMA.

"Saya bukan pria sembarangan, anda bisa mencari tahu tentang siapa saya. Semua bisa dipertanggungjawabkan. Dan soal kebahagiaan Arimbi . . ." Dia menoleh ke arah gue dengan tatapan yang membuat gue seketika berubah seperti es krim kepanasan, "Kehabagiaannya itu menjadi hal paling penting buat saya." Ken meraih tangan gue dan menggenggamnya.

"Eh . . . jangan pegang-pegang!" Abang gue tampak kesal. "Kamu pindah sebelah mama." Perintahnya ke gue dan gue celingukan, sementara Ken tahu bahwa memepertahankan tangan gue hanya akan memperkeruh suasana. Gue akhirnya ngalah pindah ke sebelah mama dengan pikiran yang berkecamuk, apa jadinya kalau keluarga gue tahu bahwa beberapa kali, hamper semalaman gue tidur dalam pelukannya meski kami tidak berbuat lebih. Oh damn!

"Apa yang membuat anda tidak yakin melepas adik anda pada saya?" Tanya Ken ke abang gue.

"Apa jaminan bahwa kamu akan memberi kebahagiaan pada adik saya?"Tantang abang gue.

"Diri saya." Jawab Ken mantab. "Jika Arimbi pulang kerumah ini dan berkata bahwa dia tidak bahagia, anda boleh datang ke saya dan lakukan apapun yang anda inginkan." Jawab Ken mantab.

Nyokap tampak menarik nafas dalam, meski shock, tapi dia tetap bertutur sopan dan lembut. "Pak Ken."

"Panggil saja Ken."

"Nak Ken, . ." Nyokap mengkoreksi. "Arimbi bukan anak orang kaya, dia juga gadis biasa saja, apa yang membuat nak Ken memilih dia? Sementara . . . kalau saya lihat, nak Ken punya segalanya. Seharusnya nak Ken bisa mendapatkan gadis yang lebih dari Arimbi." Nyokap menutup pidatonya dengan seutas senyum putus asa.

"Lo nggak hamil kan Bi?" Cletuk kakak perempuan gue, dan sontak abang gue dan nyokap melotot ke arah gue.

"Gue . . .?" Gue jelas nggak pernah siap di tanya dengan pertanyaan intimidatif semacam itu. "Enggak lah."

"Mr. Tanaka, sudah ngapain aja sama Arimbi?" Tanya kakak gue lebih lanjut, mulutnya itu emang bener-bener nggak pernah di sekolahin deh. Bisa-bisanya disaat genting seperti ini dia bertanya hal-hal semacam itu.

"Wah . . . lu kira-kira dong kalau nanya." Sambar gue kesal.

"Enggak, gue nggak nanya sama lo. Gue nanya sama calon laki lo."

Ken tampak tersenyum. "Arimbi gadis baik-baik, jadi saya tidak berbuat yang tidak sopan padanya." Jawab Ken dan nyokap gue tampak menarik nafas lega.

"Saya tidak pernah merencanakan untuk menyukai staff saya. Jadi kalau di tanya soal alasan mengapa memilih puteri anda dibandingkan wanita lainnya saya tidak tahu pasti." Ken menjeda kalimatnya. "Tapi kalau anda bertanya, apakah saya sungguh-sungguh dengan perasaan saya pada puteri anda, saya sungguh-sungguh."

"Kalau gue sih yakin, Ken akan jagain Bi. " Kakak perempuan gue ini memang orangnya paling spontan. Dia kadang kelihatan nggak punya aturan, tapi hatinya dan mulutnya selalu satu Bahasa.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang