Bab 5 - A Smile Dream

205 30 3
                                    


Dalam jatuh cinta, yang namanya tahu diri itu perlu. Supaya nanti saat kamu patah hati, sakitnya tidak terlalu.

💫💫

"Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Leo—dengan aksen bule yang begitu kentara—sambil melirik kearah bangku belakang yang di huni oleh Istri dan anak perempuannya.

"Baik Pa. Tapi...." Alma tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya tadi.

"Tapi apa?"

Alma melirik Papanya yang duduk di bangku kemudi, kemudian ganti melirik Mama yang ada di sampingnya. Alma sempat menggigit halus bibir bawahnya. "Tadi, ada teman laki-laki Alma yang nembak Alma."

Pandangan laki-laki itu fokus ke depan, tapi keningnya berkerut menandakan dirinya bingung. "Nembak?"

Alma mengangguk.

"Iya. Namanya Richard. Tadi dia minta Alma supaya jadi pacarnya," jelasnya sambil membayangkan kejadian di depan kelasnya saat istirahat tadi. Kejadiannya cukup menyebabkan keramaian, banyak kakak kelas, adik kelas atau murid seangkatannya menyaksikan kejadian tadi.

Leo dan Wanda yang mulai paham, sedikit terkejut. Hanya tidak menyangka saja murid sekolah dasar sudah tahu soal pacar. Apalagi Alma ini masih kelas lima

"Lalu? Apa jawaban Alma?" tanya Wanda pada putrinya itu.

"Alma bilang gak mau. Karena Papa bilang, Alma sekarang masih kecil. Gak boleh punya pacar." Alma menjawab lugu.

Leo dan Wanda tertawa kecil. Merasa lucu sekaligus bangga pada putrinya yang mau mendengarkan nasihat orang tua.

"Bagus. Alma memang masih kecil, belum waktunya untuk berpacaran. Tugas Alma sekarang belajar dan buat Papa Mama bangga. Oke?" kata Leo sambil melempar senyum kepada Alma.

Dan itu menjadi senyum terakhir Leo, sebelum kecelakaan menjadikan kematian sebagai jurang pemisah antara Alma dan Papa.

Rasanya sudah cukup lama, mimpi detik-detik terakhir Alma melihat senyum Papa itu absen menghiasi tidurnya. Dan setelah sekian lama, Alma kembali disambangi, pengaruhnya tidak berubah. Ketakutan karena mimpi itu masih sama besarnya.

Jam dinding segilima yang ada di kamar Alma menunjukkan pukul tiga dini hari. Itu artinya, ini sudah dua jam sejak Alma terbangun dengan kening penuh keringat dan tubuh gemetar. Dan selama dua jam itu, posisinya tak berubah sama sekali---Dia tetap duduk di tepi ranjang dengan memeluk lutut. Tak peduli dengan kamar yang masih gelap gulita.

Cewek itu hanya akan sesekali menyeka air mata yang jatuh diam-diam. Kalimat menangis tanpa suara itu begitu menyakitkan, memang benar adanya. Rasanya, dadanya sesak.

Inilah satu-satunya cara yang dapat Alma lakukan untuk menghukum dirinya sendiri. Untuk mengikis rasa bersalahnya karena tak bisa menolong Papa yang saat itu masih di dalam mobil. Bahkan ketika mobil itu meledak, Alma masih tak bisa melakukan apa-apa.

***

Dulu saat sekolah dasar, Alma sering dipuji oleh ibu dari teman-temannya. Seringnya, para ibu itu akan mengatakan bahwa mereka ingin memiliki anak seperti Alma.

Jika dulu Alma hanya akan berterimakasih saat dipuji begitu, kini dirinya justru berpikir keras soal ucapan ibu-ibu itu. Mereka ingin anak seperti Alma, memangnya dia ini anak yang bagaimana? Kalau dari segi fisik, lebih baik ibu-ibu itu menikah saja dengan pria bule. Mamanya bisa punya Alma—yang memiliki mata indah, tulang hidung tinggi, kulit putih, rambut coklat—karena menikah dengan Papanya yang notabene adalah bule.

Lalu jika dipikir lagi, beruntung dulu anak para ibu itu masih kecil. Jika anak-anak mereka sudah besar dan mendengar pujian itu, mungkin anak-anak mereka akan sakit hati karena merasa ibu-ibu mereka tidak bersyukur memiliki mereka.

Astrophile Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang