Bab 23 - Dimple

140 20 7
                                    

Baru sekarang Alma benar-benar paham tentang pepatah jangan menilai buku dari sampulnya.

Dan sekarang, Eyang Bintang adalah perwujudan dari buku itu. Balutan raga renta benar-benar menipu Alma. Nyatanya Eyang tak selemah kelihatannya. Bahkan beliau tadi sempat dengan keras kepala ingin mengangkat sekarung tanah kompos sendirian. Untungnya, Eyang sedang berhadapan dengan Alma. Cewek itu bisa lebih keras kepala dari Eyang buay membantu mengangkat karung berisi kompos itu.

Di saat Alma sudah menghela napas lelah—padahal mereka hanya berjongkok mengisi pot-pot dengan tanah dan bibit tanaman—Eyang bahkan tidak terlihat letih sama sekali.

Apa benar, kalau kita melakukan pekerjaan yang kita sukai, mau semelelahkan apapun pekerjaan itu, kita nggak akan merasakannya. Karena kita sudah terlanjur dipenuhi rasa bahagia.

Alma juga bertanya-tanya, bagaimana bisa dia ikut tersenyum lebar saat melihat wajah sumringah Eyang yang begitu menikmati kegiatan berkebunnya hari ini.

"Eyang?" Alma memanggil wanita renta bersenyum lembut itu. "Eyang kenapa minta Bintang buat beli bibit anyelir, padahal di taman ini udah banyak bunga anyelir?"

"Eyang suka arti bunga anyelir. anyelir pink."

Alma sempat menarik pandangan pada deretan pot bunga anyelir dengan beberapa warna. "Memang, beda warna beda arti?"

"Iya dong."

"Terus, bunga anyelir pink artinya apa?"

Eyang sekali lagi selesai dengan satu pot berisi bibit sawi. Hanya perlu beberapa kali melakukannya, Alma seolah sudah hapal. Cewek itu mengambil alih pot dari hadapan Eyang dan meletakkannya bersama dengan jajaran pot sayuran lainnya.

Baru setelah itu Eyang menoleh kearah Alma. "Kamu anak gaul, coba cari artinya di internet."

***

Alma keluar dari kamar mandi setelah mencuci tangannya yang penuh dengan tanah. Cewek itu langsung disambut Bintang yang terlihat rapi dengan jaket boomber hitam memeluk tubuhnya.

"Mau kemana?"

"Nganter lo pulang?"

Alma cemberut. "Sekarang banget?"

"Udah sore."

Alma menghela napas pasrah. "Eyang mana? Gue mau pamitan." Ia tidak menanyakan keberadaan Tante Bunga karena tahu wanita itu sedang mengantar adik Bintang ke tempat les tari.

"Di depan."

Setelah meraih tasnya di sofa dan menyelempangkan di bahu, Alma mengikuti langkah Bintang menuju teras. Alma sempat dibuat diam sejenak diambang pintu saat melihat siapa yang tengah ngobrol dengan Eyang di kursi teras.

Eyang menoleh. "Bintang, bawa masuk kue dari Kirana. Katanya tadi abis masak-masak sama Mamanya."

Lalu Bintang berlalu kembali masuk rumah sambil membawa kotak berukuran sedang. Sedangkan Alma masih menatap Kirana yang menjatuhkan pandanga pada tautan kesepuluh jarinya. Alma juga tidak tahu, apa memang seperti itu tingkah seorang anak baik-baik?

"Alma udah mau pulang?" Eyang berdiri dari duduknya.

"Iya Eyang."

Alma akan meraih tangan Eyang untuk ia cium punggungnya, tapi wanita senja itu justru menariknya ke dalam pelukan. "Makasih ya udah temenin Eyang berkebun hari ini."

Alma yang tak siap, sempat menegangkan tubuh. Tapi lambat laun ia mulai menikmati pelukan yang terasa begitu hangat. Alma jadi ingat saat Bintang memeluknya tempo hari. Dan itu membuat ia tanpa sadar tersenyum.

***

"Bintang? Gue boleh nanya?"

"Kalo gue jawab nggakpun lo bakal tetep nanya," jawab Bintang acuh masih fokus memutar kemudi mobil dan menatap jalanan yang cukup lenggang di sore hari.

Alma nyengir. Cewek itu sedikit menyerongkan tubuh sebelum mulai bertanya. "Kirana sering dateng ke rumah lo?"

"Rumah kami deket."

"Gue nggak nanya rumah kalian deket atau nggak," balas Alma dengan nada kesal. "Gue tanya, apa Kirana sering datang ke rumah lo?"

Bintang meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan. "Iya."

"Ngapain?"

"Kadang nganter makanan, main sama Ana, atau kalo nggak minta tolong ajarin ngerjain tugas."

Alma mengernyit. "Lo nggak merasa kalo dia punya maksud lain gitu di balik itu semua?"

"Maksud lain apa?"

"Kali aja itu modus dia supaya bisa ketemu lo terus gitu?"

Bintang mendengus. "Dia bukan lo."

Alma merengut. "Jangan-jangan aja lo juga suka kalo Kirana sering main ke rumah lo?"

"Kenapa juga gue harus nggak suka."

Kalo gue yang sering main ke rumah lo, lo suka nggak?

Pertanyaan itu nyatanya tak pernah keluar dari mulut Alma. Setakut itu dia dengan jawaban Bintang yang mungkin tak sesuai ekspetasinya untuk pertanyaan yang hanya berakhir mengendap dalam kepala itu.

Mengenai banyak hal tentang Bintang Abimas, Alma bisa menjadi sepengecut itu.

"Bintang, Ana umurnya berapa?"

"6 tahun."

Alma mengangguk. "Kok gue baru sadar ya nama adik lo sama kayak nama guru bahasa Inggris kita."

Masih dengan fokus pada jalanan, Bintang menaikkan alisnya.

"Lo pernah nggak sih waktu diajar sama Miss Ana, terus yang lo bayangin lo tuh lagi diajar sama Ana, adik lo yang bahkan mungkin buat nulis di papan tulis aja belum nyampe. Terus, terus Ana yang kemarin ngerengek ngajak lo makan bakso itu, Miss Ana."

Bintang refleks membayangkan apa yang dikatakan Alma. Lalu saat sadar dia begitu konyol dengan melakukan itu, Bintang justru terkekeh. "Gue nggak tau lo bisa serandom ini. Nggak paham gue sama jalan pikiran lo."

Alma tak langsung menjawab. Masih mengagumi telaga kecil yang terbentuk di pipi Bintang ketika cowok itu tertawa kecil. Demi bisa liat lesung pipi yang nggak pernah lo kasih tunjuk ke gue itu, gue rela kok tiap hari ngomong hal nggak masuk akal kayak tadi.

"Daripada berusaha paham sama jalan pikiran gue, mending pahamin perasaan gue aja deh. Syukur-syukur kalo lo bales," celetuk Alma tanpa sadar saat atensinya masih penuh pada lesung pipi Bintang.

Hal itu sontak melenyapkan tawa Bintang sepenuhnya. Tapi pandangan Alma masih belum beralih dari profile side cowok yang tengah menyetir itu.

"Bintang, ketawa lagi coba. Sampe dimple-nya keliatan."

"Nggak mau."

"Ih sekaliii aja."

"Enggak."

"Pelit."

***

Setelah sekian lama, akhirnya bisa update juga wkwk. Terimakasih yang udah mau nunggu💜

Happy reading!

Astrophile Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang