Enam. Kepada Pria Yang Diami Sudut Gelap dalam Ruang Hatiku

Start from the beginning
                                    

Dengan polosnya, Nadhira kecil menghampiri.
"Hujan-hujanan bisa buat kamu sakit." Polos gadis itu.
Ransel bergambar Elsa Frozen yang semula berada di atasnya, kini berpindah ke atas kepala gadis bergaun merah.

"Biar saja! Aku sedang marah pada Tuhan!" Tanpa menoleh, gadis itu menampik benda di atasnya. Membuat sang pemilik tas terkejut dan sedikit kecewa.

"Bunda bilang, kita tidak boleh marah untuk semua kehendak Allah. Karena Allah tahu yang terbaik buat kita."

Gadis dengan bandana berhias bunga itu menoleh ke lawan bicaranya.
"Tidak. Tuhan jahat! Tuhan ambil Mama dari Leia."
Tatapan matanya tajam, sarat akan kemarahan.

Nadhira mengembuskan napas, kesal. Kenapa gadis ini begitu keras kepala?

"Ayo ikut aku," Ajak Nadhira menarik tangan Leia.

"Kemana?" Leia masih bergeming.

"Kita Ngadu sama Allah. Kita cari jawabannya lewat sholat, kenapa Allah ambil Mama dari kamu."

"Sholat?"

"Kata Bunda, Sholat itu bisa membuat kita lebih tenang. Itu cara orang beriman untuk mengatasi amarah."

Alis Leia bertaut, "Iman itu... apa?"

"Iman itu, sesuatu yang membuat hati kita selalu merasa tenang." Nadhira menyentuh dada Leia.
Sorot matanya teduh, membuat siapapun yang melihatnya akan dengan mudah mengiyakan apapun yang dia katakan.
Tanpa memahami, bahwa keyakinan yang ia bicarakan, tak sama dengan kepercayaan yang ada dalam bayangan Leia.

Dua anak gadis dengan selisih usia hanya lima bulan itu berjalan sambil bergandeng tangan di bawah guyuran hujan, menuju bangunan sederhana di ujung gang. Tempat para hamba mengadu pada Sang Pencipta.
Pada Tuhan yang telah menakdirkan setiap pertemuan.
Pertemuan yang membawa mereka pada sebuah hubungan yang mengikat erat. Sebuah hubungan yang akhirnya membuat mereka menerima segala perbedaan.
Persahabatan.

Nadhira terduduk lesu di samping ranjang. Sementara di sebelahnya, Leia terlihat begitu lelap dengan buaian mimpi.

Mengingat kembali kali pertama ia bertemu dengan gadis rapuh itu. Gadis yang telah menyimpan sejuta kepiluannya sendiri sejak kecil.

Air mata menetes saling bersusulan. Semakin Nadhira coba menghentikannya, derasnya air mata semakin tak bisa ia tahan.
Rasa bersalah begitu setia menggelayuti hati dan pikirannya.
Ini tidak benar!

Sangatlah wajar jika Aryan begitu mengkhawatirkan Leia. Wajar jika saat bertemu, mereka saling berpeluk mesra.
Lalu, kenapa di sudut gelap dalam hatinya ada perasaan tidak terima?
Bagaimana bisa dia menyimpan rasa untuk suami dari sahabatnya sendiri?

Jika ada award untuk sahabat terjahat di dunia, pastilah Nadhira yang paling pantas menyandangnya.

"Astaghfirullah hal adzim...," gumamnya lirih, kemudian memutuskan untuk beranjak dari kamar. Dia butuh ketenangan.

Rumah yang besar dengan penghuni hanya tiga orang, juga lampu yang sebagian besar dipadamkan ketika malam, membuat rumah Leia menjadi terlihat suram untuk Nadhira.
Terlalu banyak sudut gelap dan tak terjamah kaki manusia.

"Ah, mikir apa sih, Ra?"
Nadhira menggeleng, coba menghalau pikiran-pikiran negatif yang menghantuinya.

Kedua kakinya lalu melangkah menuju tempat yang selalu ia tuju setiap berada di rumah Leia.
Nadhira bersyukur, karena meskipun almarhum Pak Tjandra dan Leia belum genap satu tahun menjadi mualaf, tapi sejak dulu mereka begitu menjunjung tinggi toleransi beragama. Sampai menyediakan ruang khusus untuk tamu muslimnya yang hendak beribadah.
Ruangan itu cukup luas, sekitar 4x4 meter, letaknya dekat taman di halaman belakang dengan sebuah air mancur di tengahnya.

(Bukan) Kekasih PilihanWhere stories live. Discover now