25

1.3K 324 88
                                    

Di meja makan, terasa canggung. Gak ada yang buka suara satu pun sampai acara makan selesai. Papa menatap Bang Suhandi, "Jadi, apa yang mau Abang sampaikan? Mumpung kita semua lagi ngumpul,"

Sebelum bicara, Bang Suhandi minum air putih dulu, "Ekhm.. Jadi gini. Ma, Pa, Wil, Zen, aku sama Anne mau lanjutin hubungan ke tahap yang serius,"

Mama terkaget dan reflek menutup matanya. Gue tau, Willis menatap gue tajam. Gue sempet bertemu pandang sama dia. Ada sorot kesakitan juga di mata dia, seakan minta penjelasan ke gue. Tapi gue abaikan. Kemana dia saat gue minta penjelasan?

"Abang mau ngelamar Anne?" tanya Mama ke Bang Suhandi.

Gue gak kaget, karena apalagi alasan cowok ngenalin cewek ke keluarganya?

Bang Suhandi tersenyum, "Belum, Ma. Bukan sekarang. Mungkin sampai Willis nikah dulu sama Zena. Gak enak kalau Willis belum nikah, Abang udah ngelamar Anne," Bang Suhandi duduk menghadap gue, dan gue di buat menghadap Bang Suhandi. Dia ngeluarin kotak beludru merah maroon dari sakunya. Dia meraih tangan kiri gue, "Buat sekarang, aku mau mengikat kamu dengan cincin ini, Ann. Kamu mau?"

Gue tersenyum, walau hati gue rasanya masih berlobang. Gue mengangguk, dan Bang Suhandi tersenyum lembut ke gue. Dia memasang cincinnya di jari manis gue, "Cincinnya akan bertambah kalau kamu nikah sama aku nanti, Ann. Karena ini bukan cincin 'sebenarnya' yang mau aku kasih ke kamu,"

Gue memandang cincin yang di kasih Bang Suhandi. Cantik, dari emas putih. Papa sama Mama bertepuk tangan. Zena ikut tepuk tangan, mukanya ceria dan ikut seneng. Kayak gue dulu pribadi yang ceria, sebelum di sakitin. Tapi gak dengan Willis. Dia menatap gue dengan tatapan terluka. Sama kayak dulu gue menatap dia. Gue cuma pasang senyum mengejek walau cuma sekilas.

Gue gak ada niatan buat jadiin Bang Suhandi ajang balas dendam. Tapi entah kenapa, gue puas ngeliat ekspresi Willis.

Setelah acara makan malam selesai, gue duduk di kursi yang tepat ada di pinggiran kolam renang. Menatap langit yang menampilkan bulan penuh sebagai hiasan.

"Kenapa?"

Gue gak kaget sama suara itu. Karena samar-samar, gue denger suara langkah. Tapi gak begitu musingin. Dan akhirnya gue tau, siapa yang mendekat.

Willis.

Tanpa menengok, gue menjawab pertanyaan dia, "Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu jadi sama Bang Suhandi?"

Gue beralih melihat kolam renang yang ada di depan gue, "Kamu yang bilang. Aku pantas dapet cowok yang lebih baik dari kamu. Aku udah nemu. Bang Suhandi. Dia baik sama aku. Lebih dari baiknya kamu ke aku. Jadi aku gak salah, kan?"

"Kenapa harus Bang Suhandi?" suara Willis sedikit meninggi.

"Aku pantas ngejar kebahagiaan aku. Kalau aku bahagia sama Bang Suhandi, apa kamu berhak ngelarang aku bahagia?"

Gue di tarik paksa buat bertemu tatap dengan Willis. Gue tatap ke dalam matanya, "Kenapa, Ann?"

Gue terkekeh parau, "Jangan jadi orang egois, Will. Apa cuma kamu yang mau bahagia? Aku juga mau bahagia,"

Willis menyengkram lengan gue erat. Walau sakit, gue nahan erangan karena cengkraman Willis, "Apa harus Bang Suhandi?" gue cuma mengangguk. Willis melepas cengkramannya dan berjalan lunglai meninggalkan gue.

Gue kembali menatap kolam. Bibir gue berkedut, efek pengen nangis tapi gue tahan. Gue pengen jadi Anne yang kuat.

Gue duduk di luar cukup lama. Karena gue gak bisa tidur kalau gak ada obat penenang. Udara di Bandung juga makin dingin. Tapi tiba-tiba, ada yang nyampirin selimut di pundak gue.

something new ✔Where stories live. Discover now