"Mba Wulan,"
Panggil Aryan santun.

"I-iya, Pa Aryan," jawab Wulan gugup.

"Bukannya, Mba Wulan ada banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan, ya? Mba Wulan bisa kembali ke tempat sekarang, kalau sudah tidak ada keperluan."

"Eh?"
Begitu mengerti maksud atasannya, wanita berusia tiga puluhan itu undur diri,
"Baik, Pak. Saya keluar sekarang. Permisi."

Aryan mengembuskan napas lega, kini tinggal dirinya dan David di sana. Tidak akan ada lagi yang mendengar tuduhan-tuduhan sadis David terhadapnya. Bukan apa-apa, hanya saja Aryan takut jika tuduhan tanpa bukti itu berubah menjadi bumerang baginya jika terlalu banyak telinga yang mendengar.

"Pak David, silakan duduk. Kita bicara baik-baik."

"Tidak perlu! Saya tidak punya urusan dengan seorang sopir seperti kamu!"
Lalu pria itu melenggang pergi dengan langkah penuh kesombongan.

Lagi-lagi Aryan harus ekstra sabar dengan kehidupan barunya. Ia hanya bisa menggeleng sambil sesekali memijat pelipis.
Tidak habis pikir, bagaimana bisa Pak Tjandra bertahan dengan hidup yang penuh kerumitan seperti ini?

***

"Assalamu'alaikum, Bunda." Sapa Leia penuh ceria.
Disusul Nadhira yang juga mengucap salam.

Dari arah dapur, seorang wanita paruh baya berjalan menghampiri keduanya yang masih berdiri di depan pintu.

"Wa'alaikumussalam.... Putri-putri Bunda yang cantik sudah pulang."
Diciumnya satu persatu anak gadisnya.

"Bunda,"
Sebelum wanita gempal itu menjauh, Leia lebih dulu membawanya dalam pelukan. Hening cukup lama.
Begitu saja. Bagi Leia, diam dan terhanyut dalam pelukan tulus seorang ibu, lebih bermakna dari ribuan kata terucap.
Ada bahasa yang hingga kini tidak ia pahami, sebuah bahasa yang bisa menyampaikan jutaan makna tanpa perlu berbicara.
Sebuah bahasa, yang tidak ada kepura-puraan di sana. Yang ada hanya cinta dan ketulusan.
Leia menyebutnya, bahasa cinta.

"Ah, sudah. Leia anak gadis Bunda yang kuat."
Bunda menepuk-nepuk bahu Leia. Memberi kekuatan di sana.
"Sekarang kita makan, yuk. Kalian pasti lapar."

Kesedihan itu menguar seiring Bunda melepas pekukan. Wajah Leia kembali ceria dan penuh semangat.
"Ayuk, Bun. Leia udah nggak sabar pengen makan masakan Bunda."

Di barisan belakang, ada lelehan air mata di sudut mata Nadhira melihat Leia dan Bundanya yang berjalan beriringan dengan tangan saling menggenggam.
Tidak, lelehan itu bukan air mata cemburu. Melainkan rasa haru yang membuatnya berurai air mata.
Dua orang yang sangat berarti baginya, saling menggenggam tangan dan menguatkan. Untuk menghadapi masa depan yang penuh kejutan.

"Masak apa hari ini, Bun?"
Nadhira membalik piring yang terlungkup.

"Bunda hari ini masak sup ceker, tempe orek, bakwan sayur, sama ada sambal terasi."

Tidak ada ikan, ayam, atau daging memang di sana, karena kehidupan Nadhira dan keluarganya memang tidak seberuntung Leia yang serba kecukupan.

"Waah, pasti enak, nih."
Leia yang pertama mengangkat piring, menunggu Bunda mengisi piring kosongnya dengan secentong nasi.

Dengan senang hati, Bunda meladeni sikap manjanya.
Melayani Leia, jadi kebahagian tersendiri untuk Bunda.
"Tempe oreknya mau, Lei?"

Buru-buru Leia mengangguk,
"Mau dong, Bund."

Berbeda dengan Nadhira di seberang meja yang terlihat merengut.
"Leia, terus sih, Bun. Punya Dhira masih kosong, nih."

"Kamu kan sudah besar, bisa ambil sendiri kan, Ra."
Sekarang, Bunda malah sibuk menuang air putih untuk Leia.

"Dhira jadi bingung, sebenernya anak Bunda Dhira atau Leia, sih?" Protes Nadhira sambil berpangku tangan.

Yang dibicarakan tidak menggubris, hanya tawa tertahan sambil terus menikmati hidangan di hadapannya yang sederhana namun begitu nikmat di lidah. Mungkin karena Bunda memasaknya dengan penuh cinta.

"Dhira, jangan manja, dong. Leia kan tamu di sini. Kamu kan tahu, seorang muslim sepatutnya melayani tamu dengan baik."
Sekarang malah Nadhira kena ceramah Bunda.

Daripada berdebat lebih lama lagi, Nadhira akhirnya meladeni diri sendiri. Sedaritadi, orchestra dalam perutnya sudah lantang berbunyi.
Lagipula, dia tidak seruis ngambek pada Bundanya. Mana mungkin seorang Nadhira marah pada Bunda hanya karena hal se sepele ini?

Tapi, gadis diseberangnya itu sepertinya belum puas meledek Nadhira. Buktinya, sekarang dia malah meminta Bunda untuk melakukan suatu hal untuknya. Sesuatu yang sudah tidak pernah Nadhira dapatkan sepuluh tahun terakhir, disuapi Bunda.

"Suapin Leia, Bunda," rengeknya manja.

"Anak gadis Bunda kok masih manja, sih? Statusnya udah ganti jadi istri kok, malah manja gini." Canda Bunda disela suapan yang diberikan.

Sayangnya, candaan itu terdengar bagai petir di telinga Leia.
Kunyahan di mulut terhenti. Mendadak napsu makannya hilang. Meski sulit, dipaksanya makanan itu untuk masuk ke lambung. Meski harus dibantu dengan dorongan segelas air.

"Ekhm... Leia kayaknya udah kenyang deh, Bund. Tadi di rumah udah makan soalnya."
Sebuah senyum paksa terlukis di wajah manisnya, senyum yang ia buat karena tak ingin membuat Bundanya kecewa.

"Leia ke kamar dulu ya, Bund. Abis makan jadi ngantuk."
Leia beralasan. Dan tanpa menunggu jawaban, gadis itu segera beranjak ke kamar Nadhira.

Menyisakan Bundanya yang menatap Nadhira penuh tanda tanya. Nadhira tau, mungkin Bunda belum memahami situasi ini.
Dengan tenang, diusapnya punggung tangan Bunda, lalu berucap, "Leia baik-baik saja."

####

Duhh, siapa di sini yang kasihan sama nasibnya Leia?
😥😥

Kuy, corat coret, di kolom komen.
Kita ghibahin Leia-Aryan bareng-bareng, yuk.

😂😂

(Bukan) Kekasih PilihanWhere stories live. Discover now