🍃Empat🍃

13.9K 1.3K 102
                                    

Karena target vote dan komennya sudah terpenuhi, saya update cerita kakek Yusuf lagi.

Nggak tau kenapa, dari semua cerita yang saya tulis, ceritanya kakek Yusuf yang paling cepat direspon sama pembaca. Bahkan nggak sampai sehari target di bab sebelumnya dengan cepat terpenuhi.

Buat target di bab ini, saya mau naikin sedikit targetnya (sedikit aja, nggak akan tinggi2). Votenya 300 dan komennya 50. Kalau ada yang nanya, kok naik lagi sih targetnya? Saya bakalan jawab supaya punya sedikit jeda waktu buat nulis cerita yang lain.

Udah sih, nggak usah panjang2 ngomongnya. Selamat membaca, dan semoga ceritanya kakek Yusuf bisa menemani para pembaca yang belum bisa mejamin mata kayak saya di waktu melewati tengah malam ini.

🍏🍏🍏

                                               

Mobil yang Yusuf kendarai sendiri tersebut berhenti di parkiran sebuah bangunan berlantai satu. Di dalam mobil, Salwa celingukan menatap keluar mobil, mencoba menerka dimana mereka sekarang ini.

Namun kemudian matanya membeliak kaget saat membaca plang yang terpasang di depan rumah yang bangunannya tampak luas itu. Dengan rasa tak percaya Salwa menoleh ke samping, menatap penuh tanya kepada pria yang sedang menjulurkan tangannya ke belakang, mengambil bungkusan kecil yang diletakan di kursi penumpang belakang sana.

"Pak... " panggil Salwa dengan banyak pertanyaan yang menggayuti benaknya.

"Hmm." Yusuf menjawab singkat, kepalanya menunduk seraya mengeluarkan ponsel keluaran terbaru dari dalam kotak yang diambilnya tadi. "Ada apa?" Yusuf bertanya setelah mendongakan kepala.

"Bapak bawa saya ke sini, buat apa?"

"Kamu bilang mau kursus menjahit, jadi di sinilah kita sekarang." jawab Yusuf yang berpenampilan santai pagi ini, ia hanya mengenakan kemeja tanpa dasi dengan lengan digulung sesiku, lalu celana bahan. "Memangnya kamu nggak mau mewujudkan cita-citamu itu?"

Salwa menggeleng. "Tentu saja mau. Tapi biayanya, gimana?" cicitnya di akhir kalimat.

Sejenak Yusuf menghela napas, lalu bertanya dengan nada kesal, "Saya ini siapanya kamu, Sal?"

"Suami." ringis Salwa menundukan kepala, tak berani menatap mata pria yang duduk di balik kemudi itu.

"Lalu kamu pikir, sebagai seorang suami, saat tahu kalau istrinya menginginkan sesuatu, apakah saya hanya akan diam saja?"

"Nggak."

"Sekarang saya tanya, kamu masih mau terus menunduk atau masuk ke dalam sana, supaya nanti kamu bisa bikin baju buat anak-anak kita?" suara Yusuf sudah kembali melembut, tak tega rasanya melihat kepala dengan rambut yang diikat ekor kuda itu semakin menunduk saja.

"Mau masuk ke sana." respon Salwa begitu cepat seraya kembali mengangkat kepala, sampai kemudian matanya membola saat berhasil mencerna setiap kata yang keluar dari bibir suaminya. "Bapak... " ucapnya pelan dengan pipi merona.

                                                        
Untuk pertama kalinya usai hakim mengetuk palu untuk mengesahkan perceraiannya, Yusuf tertawa lepas. Hatinya merasa senang bisa melihat wajah mulus tanpa satupun noda jerawat itu merona. Diusapnya sayang puncak kepala yang semakin merona saja wajahnya itu.

"Kenapa kaget begitu? Biar tua begini, saya masih sanggup membuat kamu hamil." tutur Yusuf sambil membawa jemari kecil itu dalam genggaman dan meletakan ponsel di telapak tangan yang terlihat kasar karena banyaknya pekerjaan yang istrinya itu lakukan sebelum bertemu dengannya.

Takdir Cinta [Sudah Terbit]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon