🍃Epilog🍃

11.4K 1.2K 105
                                    

Sip... setelah bab ini dipublish, hutang saya pun sudah lunas. Dan kita akan benar-benar berpisah dari kakek yang punya banyak fansnya ini.

Sumpah, dari beberapa cerita yg udah saya tamatkan di cerita di dunia orange ini, cerita 'Takdir Cinta' benar-benar buat saya senangnya bukan main. Respon teman2 semua sungguh di luar akspektasi saya. Jejak yang kalian tinggalkan di tiap babnya, ngebuat saya sangat senang. Singkat kata, kalian adalah yang terbaik.

Makasih udah mau ngedukung saya dengan memberikan apresiasi kalian melalui vote dan komentarnya. Saya dan cerita yang saya tulis nggak akan jadi apa-apa tanpa kalian semua.

Seperti biasa, ekstra part cuma ada dalam versi ebook. Bagi yang minat beli (saya nggak maksa) nanti bisa dibeli di google play. Dan cerita ini jangan dulu dihapus dr perpustakaan kalian, karena nanti pemberitahuan mengenai ebooknya saya kasih tau di sini.

Udah ya, segitu aja. Selamat membaca, dan semoga bab terakhir cerita kakek Yusuf ini bisa menemani kalian semua bersantai di rumah.

🍏🍏🍏

                                                 

Area pemakaman tersebut tampak begitu sepi. Para pelayat yang ikut mengantarkan sosok yang telah tertimbun di bawah tanah sana, satu persatu memilih undur diri setelah lebih dulu menyalami anggota keluarga yang sedang berduka.

Ada Yusuf di sana, berdiri tak jauh dari pusara yang telah ditaburi bunga, berdiri bersisian dengan putranya dengan tetap memaku tatapan ke arah Adelia yang masih duduk di sisi makam ibunya. Hanya tersisa mereka bertiga di sini, yang masih setia di posisi masing-masing, terdiam dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

"Imu, gimana keadaannya, pa?" suara Fari terdengar memecah keheningan kala teringat akan ibu tirinya yang jatuh sakit setelah semalaman menemani Adelia yang tak mau menghentikan tangisnya.

Yusuf menghela napas. Matanya masih terus menatap iba sang putri kesayangan yang sedang mengelus batu nisan ibunya. "Udah mendingan. Cuma harus banyak istirahat aja, makanya dia nggak papa izinin ikut ke sini."

Fari mengangguk paham. "Emang harus gitu, pa. Kalau sampai dipaksakan buat ke sini, takutnya kondisi Imu malah tambah parah. Tapi pa, acara syukuran di rumah papa, gimana kelanjutannya?"

Cukup lama Yusuf terdiam. Sebelum Fari bertanya seperti itu, ia sudah lebih dulu memikirkannya. Memang antara dirinya dan Imeka tidak lagi memilki hubungan apaun, hingga rasa-rasanya tidak akan ada masalah jika acara syukurannya dilaksanakan sesuai rencana. Akan tetapi, saat memikirkan kedua anaknya yang sedang berduka, Yusuf tak sampai hati berbahagia di atas derai air mata anak-anaknya.

Sehingga, mau tak mau Yusuf harus mengikuti apa yang Salwa katakan padanya beberapa jam yang lalu. Ada baiknya acara syukuran mereka diundur demi menghargai perasaan Fari dan Adelia.

                                                                 
"Pa... " Fari memanggil begitu melihat ayahnya yang termenung.

"Imu kamu nyaranin buat ngundur acara syukurannya buat ngehargain perasaan kamu dan Adel. Dan setelah dipikir, papa rasa dia ada benarnya juga."

Setelah Yusuf memberikan jawaban, kedua pria beda generasi itu kembali berdiam diri, memaku tatapan ke arah Adelia yang perlahan berdiri dari pososi bersimpuhnya di sisi makam setelah mencium batu nisan wanita yang telah melahirkannya ke dunia sebagai bentuk penghormatan dan juga kasih sayang.

Gadis yang matanya bengkak karena sisa tangisnya itu memutar badan untuk menghampiri kedua pria yang memiliki arti besar dalam hidupnya, yang masih setia menemaninya di sini, saat Adelia ingin sejenak mengenang kembali kebersamaan dengan almarhummah ibunya.

Begitu sampai di tempat dimana kedua pria pelindungnya itu berdiri, Adelia langsung menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan sang ayah. Memeluk erat pria paruh baya itu, dan meletakan kepala di dada bidang ayahnya untuk mencari ketenangan.

Tak memerlukan waktu lama Adelia sudah merasa tenang, apalagi saat sang ayah mengecup sayang puncak kepalanya dan membalas pelulannya dengan elusan di punggung. Damai rasanya di kala sedih begini, masih ada orang yang bisa dijadikan tempat untuk bersandar dan menumpuhkan keluh kesah.

"Pa... " rengek Adelia dengan suara manja.

"Hmm... " Yusuf membalas dengan deheman seraya menatap putra sulungnya yang memutar bola mata mendengar rengekan manja adiknya.

"Nanti, kalau Imu udah melahirkan, pokoknya papa nggak boleh ambil pengasuh buat bantu Imu jagain dedek bayi."

Mendengar apa yang Adelia katakan, Yusuf mengerutkan kening, kemudian bertanya, "Kenapa harus begitu? Kalau Imu kamu kewalahan, gimana? Memangnya kamu nggak kasian ngeliat Imu kamu repot ngurusin 2 bayi."

Di sisinya Fari terbatuk-batuk keras mendengar perkataan yang Yusuf ucapkan. Anaknya yang kurang ajar itu memberikan tatapan mencela setelah batuknya mereda karena tahu makna terselubung di balik pertanyaannya.

Namun Adelia yang lugu hanya memandang ayahnya dengan mata membola. "Papa... Imunya aja belum melahirkan, masa udah disuruh hamil lagi. Ihh... papa nih, kok tega sih nyusahin Imu kayak gitu?"

"Rasain, pa." Fari mengejak ayahnya.

Yusuf mendengus kesal. "Adel, maksud papa bukan itu, tapi bayi yang papa mak... "

                                                       
"Eh Del, ngapain kamu nggak ngebolehin papa makai jasa pengasuh bayi?" Fari memotong perkataan ayahnya, tidak ingin Adel semakin banyak bertanya saat ayahnya menjelaskan perihal 'bayi' yang memiliki arti berbeda dari yang ada di pikiran adiknya itu.

"Oh iya... " Adelia menepuk pelan keningnya. Mendongak untuk menatap sang ayah, ia berkata, biar nanti aku aja yang bantuin Imu jagain dedek bayinya. Aku 'kan nggak ada kesibukan lain selain kuliah, jadi aku bisa bantu ngurangin bebannya Imu. Boleh ya, pa?"

Yusuf yang sempat kesal karena perkataannya dipotong Fari kembali memusatkan perhatian ke wajah Adelia yang penuh harap saat menatapnya. "Kamu yakin bisa bantuin Imu jagain dedek bayinya?"

"Yakin." Adelia mengangguk mantap.

Melihat keyakinan Adelia dari kedua bola matanya, pada akhirnya Yusuf memberikan anggukan. "Ya udah." jawab Yusuf menyetujui.

Pekikan riang Adelia yang tertahan menjadi tanda jika gadis itu senang diberi tanggung jawab untuk membantu mengasuh dedek bayinya.

Gadis yang tak lagi bermuram durja itu pun dengan patuh saat sang ayah mengajaknya untuk segera pergi dari sana. Sambil mengamit lengan ayahnya, Adelia melangkah ringan meninggalkan area pemakaman yang sunyi.

'Aku pergi dulu, ma. Aku pasti ngunjungin mama lagi. Dan semoga mama tenang di sana.'

                                                          🍏🍏🍏

                                                         

                                                         

🌸🍏🍏🌸
Salam, eria90 🐇
Pontianak,-10-02-2019

Takdir Cinta [Sudah Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora